Selamat Jalan Jenderal.. Komjen (Purn) Jusuf Manggabarani
Tapi jika ditanya apa yang paling membekas dari kariernya, banyak yang justru menyebut sebuah kisah dari Palopo—tentang bagaimana Jusuf, yang saat itu masih berpangkat Komisaris Besar, dengan tenang menerima tantangan duel dari seorang preman kejam bernama Sukri, yang selama bertahun-tahun membuat gentar aparat dan warga.
Dalam konfrontasi itu, Jusuf berdiri sendiri, menatap Sukri tanpa gentar, dan berakhir dengan kemenangan yang tidak hanya fisik, tapi simbolik.
Sejak itu, banyak yang menganggap Jusuf “kebal peluru,” tapi mereka yang mengenalnya lebih dalam tahu bahwa yang benar-benar kebal adalah moralnya.
Jusuf bukan tipe perwira yang haus sorotan. Ia lebih senang mendengarkan ketimbang berpidato, lebih suka berjalan di tengah anggota daripada duduk nyaman di balik meja rapat.
Kepada wartawan, ia dikenal terbuka namun tetap menjaga batas. Tegas, namun tak pernah membentak.
Dalam setiap kebijakannya, ada jejak pemikiran yang dalam, tidak reaktif, dan selalu memihak pada akal sehat serta nurani hukum. Ia percaya bahwa kepolisian bukan sekadar alat negara, tapi juga cermin keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Setelah pensiun, ia tak lantas menghilang. Ia menulis, berbagi pengalaman, dan pada 2011 menerbitkan buku biografinya berjudul Cahaya Bhayangkara, sebuah kisah panjang yang tak sekadar berisi catatan karier, melainkan refleksi tentang nilai, kehormatan, dan tanggung jawab.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan