Tenaga Medis, Bukan Hanya Penolong, Tapi Peneduh Jiwa Jamaah
Saya berdiri di bawah terik yang tak biasa. Panasnya menggigit. Tapi saya lihat mereka masih tersenyum. Tenaga kesehatan kita. Di lapangan. Di barisan paling depan.
Oleh: Dr. Bunyamin M. Yapid-Makkah
Saya sengaja datang. Ini bukan kunjungan seremoni. Saya ingin lihat sendiri, seperti apa kesiapan mereka. Menjelang puncak haji, semua harus dalam kondisi terbaik.
Saya masuk ke salah satu sektor di Daker Makkah. Klinik kecil, tapi hidup. Seorang lansia tengah ditangani. Napasnya pendek. Tapi matanya tenang. Tenang karena ada yang merawat.
Petugas menyambut saya. Baju putih mereka basah. Keringat di leher, di pelipis. Tapi tak ada keluhan. Mereka justru semangat bercerita. Tentang pasien yang makin banyak. Tentang tugas yang tak berhenti. Tentang harapan yang mereka bawa.
Saya tanya, bagaimana pola kerja. Mereka jawab, bergiliran. Siang dan malam. Ada tim mobile juga. Keliling hotel. Jemput jamaah yang tak sanggup datang sendiri. Ini penting. Karena banyak dari mereka, bahkan tak tahu cara minta bantuan.
Saya senang dengar itu. Koordinasi antar petugas juga rapi. Kalau ada panggilan darurat, tak sampai tujuh menit sudah tiba. Itu luar biasa. Karena dalam dunia medis, waktu bukan sekadar angka. Tapi nyawa.
Layanan kesehatan memang bukan cuma soal obat. Tapi juga soal rasa aman. Soal kepastian bahwa mereka—jamaah—tidak sendiri. Ada yang siap siaga setiap waktu. Ada yang akan datang ketika mereka lemah.
Saya bilang ke para petugas, kerja kalian lebih dari sekadar profesi. Ini pengabdian. Ini bentuk cinta. Pada tugas. Pada negara. Pada sesama.
Tak banyak waktu untuk istirahat. Makan pun sering terlambat. Tapi saya tak dengar keluhan. Hanya semangat. Hanya tawa kecil yang tulus.
Saya tahu, ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi menghadapi jamaah dalam jumlah besar. Dari berbagai daerah. Dengan kondisi fisik yang berbeda-beda. Tapi mereka hadapi semua itu dengan ikhlas.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan