HEADLINE

Dugaan Honorer Fiktif di Satpol PP Sidrap, Inspektorat Bergerak

Sidrap, katasulsel.com — Dugaan keberadaan tenaga honorer fiktif di lingkup Dinas Satpol PP dan Pemadam Kebakaran (Damkar) Kabupaten Sidrap kembali menguji integritas sistem administrasi pemerintahan daerah.

Nama-nama pegawai yang masih tercantum aktif dalam dokumen kepegawaian, namun tak pernah menunaikan tugas, menjadi sorotan setelah Inspektorat turun tangan melakukan penelusuran.

Indikasi awal menyebutkan keberadaan puluhan tenaga honorer yang secara de jure masih berstatus aktif, namun secara de facto tak lagi menjalankan tugas.

Kasus ini membuka celah kritis dalam pengelolaan manajemen sumber daya aparatur, khususnya dalam konteks pengawasan kepegawaian non-ASN.

Tak hanya soal ketidakhadiran fisik, beberapa nama disebut telah mengajukan cuti lebih dari satu tahun tanpa kejelasan lanjutan, bahkan ada yang diduga telah mengundurkan diri, namun tetap eksis dalam daftar aktif bulanan.

Sumber internal menyebutkan bahwa praktik ini bukan hal baru, melainkan “pola berulang” yang nyaris menjadi bagian dari kelaziman birokrasi.

Salah satu kasus mencuat ketika seorang tenaga honorer yang nyaris tak pernah hadir, justru berhasil diangkat sebagai ASN PPPK.

Situasi ini mencerminkan potensi distorsi data kepegawaian yang bisa berdampak pada kebijakan anggaran dan alokasi fiskal secara lebih luas.

Lebih jauh, muncul dugaan bahwa praktik tersebut tak berjalan sendiri. Bagian absensi pun disebut-sebut sebagai simpul krusial yang turut berperan dalam meloloskan kejanggalan. Ketika kehadiran menjadi syarat administratif untuk pencairan honor, namun absensi bisa “dikelola”, maka ruang manipulasi terbuka lebar.

Kepala Inspektorat Sidrap, Mustari Kadir, memilih bersikap hati-hati. Ia menyatakan bahwa proses pemeriksaan masih berlangsung dan belum melahirkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) resmi.

“Belum jadi LHP-nya, masih jalan anggotaku,” katanya singkat saat dikonfirmasi, Selasa, 20 Mei 2025.

Sementara itu, Sekretaris Satpol PP dan Damkar, Andi Agustianti, menyebut bahwa meski nama-nama tersebut masih muncul dalam daftar internal, namun tidak lagi menerima honor.

“Honornya kembali ke kas daerah,” ujarnya.

Namun pertanyaan publik tak berhenti di situ. Jika dana telah dikembalikan, mengapa basis data honorer belum dibersihkan? Apakah ada inkonsistensi struktural dalam proses verifikasi administratif, atau memang ada celah sistemik yang sengaja dibiarkan?

Dengan total 128 tenaga honorer di Satpol PP dan 123 di Damkar, dengan nominal honor yang berkisar antara Rp700 ribu hingga Rp1,4 juta per bulan, maka potensi kebocoran anggaran akibat ketidakakuratan data bisa bernilai signifikan.

Tak hanya merugikan negara, kondisi ini juga bisa mengganggu prinsip keadilan distributif, terutama bagi honorer aktif yang bekerja dengan keterbatasan.

Pakar kebijakan publik menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “phantom bureaucracy” — situasi di mana individu atau entitas administratif eksis dalam dokumen, namun nihil secara operasional.

Perlu audit menyeluruh dan pembenahan basis data digital terintegrasi berbasis e-Government agar fenomena serupa tak kembali mencederai kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.(*)

Laporan: Edy Basri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version