Serda Ali dan Warga Gerebek Markas Tikus di Sidrap

Mereka datang tidak dengan senapan. Tapi dengan cangkul, obor, dan keberanian.

Oleh: Edy Basri

Pagi itu, Kamis (22/5), Desa Aka Akae tak seperti biasanya. Sawah-sawahnya yang hijau dibalut aroma waspada. Di balik hamparan padi, tersembunyi musuh kecil—licin, cerdas, dan rakus: tikus.

Bukan tikus biasa. Ini tikus ladang. Hama tua yang tak pernah pensiun. Datang diam-diam, pulang membawa habis harapan petani.

Tapi hari ini, perlawanan dimulai.

Di garis depan, berdiri tegap seorang prajurit. Namanya Serda Muh. Ali Hanapi.

Bukan komandan brigade, tapi hatinya besar seperti lumbung desa. Ia Babinsa. Tugasnya memang menjaga. Tapi kali ini, yang dijaga bukan hanya keamanan. Melainkan pangan.

“Kalau bukan kita yang lawan, siapa lagi?” katanya pendek, sebelum turun ke sawah.

Di belakangnya, lima kelompok tani sudah bersiap. Nama-nama mereka terdengar seperti potongan sejarah kecil: Tunas Muda, Mattirowali 1 dan 2, Massimpuloloe, dan Siamaseang.

banner 300x600

Mereka bukan tentara. Tapi hari itu, mereka adalah pasukan. Pasukan padi. Pasukan jerih payah.

Mereka menyisir pematang. Menggali sarang. Membakar rumput liar. Tikus-tikus melompat keluar seperti penumpang gelap yang ketahuan. Ada yang tertangkap. Ada yang kabur. Tapi hari itu, mereka kehilangan markas.

“Ini bukan cuma soal tikus,” kata Serda Ali saat memberi arahan. “Ini tentang sawah, tentang nasi di piring anak-anak kita.”

Kalimatnya pendek. Tapi menusuk.

Di tengah sawah, aparat desa, penyuluh pertanian, dan warga duduk bersama. Sejenak, mereka istirahat. Tapi bukan lelah yang terasa. Melainkan bangga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
banner 1920x480