SK Bodong Dipakai Ujian PPPK, Inspektorat Enrekang Bergerak
Enrekang, Katasulsel.com – Di balik euforia seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahap 2 yang digelar di Makassar pada 17-18 Mei 2025, diam-diam sebuah ironi menyeruak dari lereng pegunungan Enrekang: puluhan peserta seleksi diduga menggunakan SK honorer palsu.
SK yang seharusnya menjadi bukti pengabdian, justru berubah menjadi tiket instan bagi mereka yang tak pernah hadir di ruang kelas, kantor pelayanan, atau meja administrasi. Mereka bukan honorer. Namun mereka tercatat sebagai peserta. Terverifikasi. Tersenyum di foto resmi.
“Ada yang tidak pernah kami lihat bekerja, tiba-tiba lolos seleksi. SK-nya entah dari mana,” ujar salah satu honorer yang ikut seleksi, dengan nada getir.
Kecurigaan masyarakat ini akhirnya membentuk gelombang pengaduan. Nama-nama yang tak pernah hadir di lingkungan kerja Pemkab Enrekang, kini masuk daftar peserta seleksi. Ironisnya, banyak dari mereka lolos verifikasi administratif tanpa hambatan berarti.
Satu nama muncul dalam pusaran: seorang camat, berinisial WM. Ia diduga menyisipkan nama seseorang yang tidak pernah tercatat sebagai honorer. Praktik seperti ini, jika terbukti, bukan hanya mencoreng integritas seleksi—tetapi juga mempermalukan akal sehat birokrasi.
Di atas kertas, ada 1.851 honorer yang resmi ikut seleksi tahap 2 di Enrekang. Tapi berapa dari jumlah itu yang benar-benar mengabdi? Dan berapa yang hanya “diciptakan”?
Plh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Erik, membenarkan adanya laporan masyarakat. Ia menyatakan bahwa Bupati dan Wakil Bupati telah menugaskan Inspektorat untuk menyelidiki.
“Betul ada laporan. Saat ini sedang dalam proses. Untuk hasil audit, silakan langsung ke Inspektorat,” ucap Erik diplomatis.

Namun publik tentu berharap lebih dari sekadar proses. Sebab dalam skema seleksi PPPK, SK honorer bukan hanya selembar kertas—ia adalah bukti dedikasi, tahun-tahun pengabdian yang tak selalu tercatat, namun sangat nyata dirasakan.
Jika sistem bisa dibobol,
jika SK bisa diterbitkan tanpa kerja,
dan jika keadilan bisa digadaikan demi kedekatan,
maka untuk apa lagi ada seleksi?
Editor: Edy Basri l Reporter Harianto