Hidup Ini Terlalu Berat Buat Ibu di Sidrap Ini
Namanya Risnatiawaty, tapi semua orang memanggilnya Risna, saja. Lebih pendek, lebih akrab.
Oleh: Harianto
SEPERTI hidupnya yang juga terasa pendek karena selalu dikejar kebutuhan, kekurangan, dan ketidakpastian.
Ia tinggal di sebuah kontrakan kecil di Sidrap, bersama empat anaknya dan ayahnya yang sudah renta.
Di sebuah lorong sempit yang tidak banyak dikenal orang. Apalagi didatangi bantuan.
Setiap pagi, Risna bangun sebelum matahari muncul. Bukan karena gaya hidup sehat atau alarm pintar.
Tapi karena hidup memaksanya begitu. Ia harus menyiapkan sarapan seadanya. Membantu anak-anak bersiap ke sekolah. Walau sering tanpa uang jajan.
Lalu memaksa dirinya berangkat ke warung kopi tempat ia bekerja sebagai pelayan. Hanya untuk mendapat upah harian yang tidak selalu cukup membeli beras.
Pekerjaan itu bukan pilihannya. Tapi keadaan yang memilihkannya. Sejak suaminya pergi setahun lalu.
Tanpa pamit. Hanya meninggalkan catatan pendek tentang utang dan tekanan hidup.
Sejak saat itu, Risna menjadi tulang punggung keluarga. Menanggung semua beban yang sebelumnya dibagi dua. Sekarang hanya ada di pundaknya yang kurus dan gemetar.
Untuk bertahan, ia meminjam uang ke rentenir. Rp10 juta, katanya. Untuk biaya sekolah dan kebutuhan dapur.
Tapi yang sampai ke tangannya hanya Rp8 juta. Sisanya dipotong entah untuk apa. Sejak itu, bunga menggulung seperti benalu.
Satu tahun berjalan, utangnya membengkak jadi Rp131 juta. Padahal penghasilan dari warung kopi hanya Rp20 ribu per hari. Kadang tidak ada.
Malam hari, setelah bekerja seharian, Risna masih membantu ayahnya, Pak Azis.
Seorang pemulung 63 tahun. Masih menarik gerobak keliling kota. Masuk gang demi gang. Mencari kardus dan botol plastik untuk dijual ke pengepul. Kadang laku.
Kadang tidak. Tapi mereka terus jalan. Karena diam tidak menghasilkan apa-apa.
Risna tidak minta belas kasihan. Ia hanya ingin anak-anaknya makan dan bisa sekolah.
Tapi keinginan sederhana itu terasa berat. Apalagi ketika rumahnya sering didatangi penagih utang bersenjata tajam.
Berteriak-teriak di depan kontrakan mungilnya. Membuat anak-anak menangis ketakutan. Membuat dia sendiri hampir kehilangan nyali.
Rahmi Asmir, seorang aktivis sosial di Sidrap, menyebut ini bukan hal baru. Tapi sering luput dari perhatian.
Menurutnya, negara belum benar-benar hadir di tempat seperti tempat Risna tinggal. Di mana koperasi hanya nama. Bank hanya mimpi. Dan rentenir tumbuh subur seperti rumput liar.
Rahmi bilang, yang dibutuhkan bukan hanya bantuan sesaat. Tapi pendekatan sistemik yang menyentuh akar.
Kalau tidak, akan terus ada perempuan seperti Risna. Berjuang sendiri. Dalam diam. Dalam sunyi. Terjerat utang. Hanya karena ingin menyekolahkan anak-anaknya.
Hari-hari Risna terus berjalan. Tanpa libur. Tanpa waktu menangis. Ia tetap memasak.
Melipat baju. Cuci piring. Antar anak ke sekolah. Bekerja. Bantu ayahnya. Dan menyembunyikan tangis di balik senyum tipis yang semakin lelah.
“Saya tidak mau anak saya jadi seperti saya,” katanya pelan. “Asal mereka bisa sekolah, saya kuat.”
Mungkin di situlah kekuatan Risna yang sesungguhnya. Bukan pada berapa banyak ia bisa tanggung. Tapi pada keputusannya tetap bertahan. Meski sendirian.
Meski dunia terasa gelap. Karena ia percaya, suatu hari nanti, anak-anaknya akan tumbuh. Mengerti. Dan membawa terang yang selama ini hanya ia jaga sendiri dalam diam. (*)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan