Opini

Koperasi Desa Rasa Keluarga

Edy Basri

Program ini sebenarnya mulia. Lahir dari niat baik Presiden Prabowo Subianto untuk mengangkat ekonomi desa.

Oleh: Edy Basri

IYA. Program sebenarnya sangat bagus. Prabowo ingin agar rakyat kecil punya wadah. Punya alat. Punya kekuatan bersama.

Tapi seperti biasa: niat baik di atas kertas, kadang dirusak oleh tangan-tangan yang tak pernah kenyang di bawah meja.

Koperasi desa, yang seharusnya jadi milik bersama, malah disulap jadi kandang keluarga.
Bapak kades jadi ketua.
Istrinya jadi bendahara.
Adiknya jadi sekretaris.
Sepupunya jadi pengawas.
Anaknya? Masih SMP, tapi sudah disiapkan jadi pengganti nanti.

Lalu rakyat?
Hanya tepuk tangan di depan spanduk, sambil bingung: “Ini koperasi rakyat, atau koperasi silsilah?”

Ironis.
Presiden Prabowo bicara kemandirian desa, tapi beberapa kepala desa bicara kemandirian keluarga.
Mengelola uang negara seperti mengelola uang arisan RT.
Tanpa mekanisme.
Tanpa transparansi.
Dan paling sering: tanpa rasa malu.

Apakah ini yang dimaksud ekonomi kerakyatan?
Atau sudah bergeser jadi ekonomi keponakan?

Rakyat desa tak butuh koperasi yang hanya kuat di fotocopy proposal.
Mereka butuh koperasi yang hidup.
Yang benar-benar bisa beli gabah petani.
Bisa bantu modal UMKM.
Bisa bikin harga pupuk tak setinggi langit.

Pak Prabowo, kalau Anda mau program ini berhasil, awasi dari sekarang.
Buat aturan yang jelas:
Koperasi desa bukan warisan jabatan.
Bukan panggung keluarga.
Dan bukan celengan pribadi.

Kalau tidak, jangan salahkan rakyat kalau nanti menyebut program ini bukan “koperasi desa”, tapi “koperasi keluarga.” (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version