Ada rasa ingin membantu. Tapi tak tahu harus mulai dari mana. Maka semuanya diam. Diam yang panjang. Diam yang menyiksa.
Saya temui Kepala Dusun. Ia bercerita pelan, nyaris seperti berbisik, “Kami sudah lapor, Pak. Tapi belum tahu harus bagaimana. Mereka keluarga sendiri yang rawat.”
Sudah ada langkah-langkah kecil. Dinas Sosial mulai mendengar. Beberapa relawan mulai datang. Tapi prosesnya lambat, nyaris tak bergerak. Seolah sistem tak sanggup menembus sunyi Tanjong Manik.
Malam kembali datang. Angin menggoyang rumah panggung itu seperti ingin merobohkannya, atau menghiburnya. Saya tinggalkan dusun itu dengan langkah berat.
Tapi saya bawa serta satu pesan: di balik segala kebisingan kota dan hiruk-pikuk politik, masih ada rumah lapuk dengan tiga jiwa yang menunggu disentuh.
Tanjong Manik bukan sekadar nama dusun. Ia adalah potret luka sosial yang terlalu lama diabaikan. Sebuah jerit yang tak pernah benar-benar terdengar.
Namun kini, suara itu mulai muncul. Pelan. Tapi pasti. (*)
Tidak ada komentar