Direktur Skincare Bermerkuri di Makassar Dijatuhi Hukuman 1,5 Tahun dan Denda Rp1 Miliar

Makassar, Katasulsel.com — Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar akhirnya menjatuhkan vonis terhadap Mustadir Dg Sila, Direktur CV Fenny Frans, dalam kasus peredaran skincare mengandung merkuri. 

Hukuman satu tahun enam bulan penjara dan denda Rp1 miliar menjadi jawaban hukum atas risiko yang ditimbulkan produk berbahaya itu. Namun, di balik putusan ini tersimpan persoalan lebih dalam: bagaimana bisnis kecantikan bisa mengorbankan kesehatan publik demi keuntungan?

Kasus ini bukan sekadar persoalan hukum pidana semata. Ini soal kepercayaan masyarakat yang dikhianati. Merkuri, zat beracun yang dilarang keras, ternyata masih lolos dari kontrol dan beredar luas di pasaran. 

Mustadir dan perusahaan yang dipimpinnya menjadi pion pertama yang diproses hukum, tapi pertanyaannya adalah: seberapa jauh pengawasan dan penindakan yang dilakukan aparat terhadap ratusan produk sejenis yang mungkin beredar tanpa izin dan tanpa standar keamanan?

Putusan majelis hakim yang menilai terdakwa melanggar UU Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa bisnis yang mengabaikan keselamatan konsumen bukan hanya salah secara etika, tapi juga melanggar hukum. 

Namun, tuntutan JPU yang awalnya meminta hukuman empat tahun, jauh lebih berat dari vonis yang dijatuhkan. Ini menunjukkan adanya ruang negosiasi dalam penerapan hukum, yang bisa jadi mencerminkan kompleksitas pembuktian dan unsur kesengajaan dalam perkara ini.

Sikap majelis yang mempertimbangkan faktor meringankan, seperti sikap sopan dan tidak pernah dihukum terdakwa, bisa jadi dimaknai sebagai cerminan pendekatan hukum yang manusiawi. 

Tapi, apakah cukup bagi masyarakat yang menjadi korban produk bermerkuri? Mereka yang mengalami efek samping, bahkan kerusakan kesehatan jangka panjang, layak mendapat keadilan lebih dari sekadar vonis ringan.

banner 300x600

Dari sisi penegak hukum, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, menyebut perbedaan pasal yang diterapkan antara UU Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen jadi titik tarik menarik. 

Ini menggambarkan bahwa regulasi di sektor kosmetik dan kesehatan masih memerlukan sinkronisasi dan penguatan agar tidak ada celah bagi pelaku usaha nakal.

Dua terdakwa lainnya, yang masih menunggu proses tuntutan, menjadi cerminan bahwa kasus ini bukan insiden tunggal. Ini adalah fenomena yang mengkhawatirkan — bisnis kecantikan yang tumbuh pesat tapi pengawasannya tertinggal.

Vonis ini harus menjadi momentum bagi pemerintah dan lembaga pengawas untuk memperketat pengujian dan peredaran produk kosmetik. Konsumen pun harus semakin waspada, tidak mudah tergiur klaim cantik instan tanpa jaminan keamanan.

Bisnis kecantikan memang menjanjikan, tapi nyawa dan kesehatan bukan barang dagangan yang bisa ditukar dengan keuntungan sesaat. Vonis ini bukan akhir, tapi awal perjuangan perlindungan konsumen yang lebih serius dan nyata.(*)

Editor: Edy Basri I Author : Harianto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup