Kapal Boleh Datang Pergi, Tapi Kolaka dan Kolaka Utara Harus Tertata
Di ruang kerja yang masih bau cat baru, seorang pria tampak sibuk mengatur kertas-kertas yang belum sempat disusun. Namanya Lukman Hakim.
Oleh: Edy Basri
Usianya tak lagi muda, tapi semangatnya seperti dermaga saat kapal-kapal datang bersandar: sibuk, terbuka, dan siap menampung.
Ia baru saja pindah. Dari pelabuhan lama ke pelabuhan baru. Kini ia Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Kolaka.
Ada dua pelabuhan yang jadi tanggung jawabnya: Kolaka dan Kolaka Utara. Dua-duanya bukan pelabuhan besar, tapi bukan juga pelabuhan kecil yang bisa disepelekan.
Keduanya punya denyut ekonomi yang khas — kapal kayu, kapal barang, dan kadang kapal-kapal dengan wajah kecemasan di atas geladaknya.
“Kita ingin semua berjalan lebih baik,” katanya pelan, tapi yakin.
Kalimat itu sederhana. Tapi jika diselami, di dalamnya ada beban birokrasi, cita-cita pelayanan, dan harapan agar pelabuhan tak sekadar tempat bongkar muat — tapi juga simbol peradaban maritim yang bersih dan ramah.
Ia tahu, di pelabuhan, yang datang tak hanya kapal. Tapi juga rumor, urusan perizinan yang njelimet, dan kadang-kadang — permainan di balik layar yang tak tertulis dalam SOP.
Maka, ia memulai dari hal mendasar: sosialisasi. Sebuah kata yang terlalu sering dipakai, tapi terlalu jarang dijalankan dengan hati.

“Kita akan undang semua stakeholder. PBM, keagenan, siapa pun yang terlibat. Kita harus bicara satu meja. Bukan cuma tentang prosedur, tapi tentang keselamatan,” ujarnya.
Bagi Lukman, keselamatan bukan sekadar kewajiban teknis. Tapi soal nyawa, soal harga diri institusi, dan yang terpenting, soal tanggung jawab negara kepada rakyatnya.
Ia tahu tugas ini tak ringan.
Ada sistem perizinan yang harus dirapikan. Ada SOP yang harus ditegakkan. Ada ego sektoral yang kadang harus dibujuk dengan diplomasi, bukan doktrin.
Ia tidak ingin terlalu teoritis. Tapi juga tidak mau jadi pejabat yang cuma menunggu laporan. Karena itu, ia memilih turun ke lapangan. Melihat langsung, menyentuh langsung, dan — kalau perlu — bertanya langsung kepada nakhoda kapal kecil di ujung dermaga.
“Semua kapal harus dipastikan aman saat berlayar. Tidak ada kecelakaan. Tidak ada yang luput dari pengawasan,” tegasnya.
Kalimat itu terdengar tegas, tapi juga cemas. Karena ia tahu, tak ada yang benar-benar bisa menjamin laut tetap tenang. Tapi setidaknya, dari daratan, persiapan bisa dilakukan semaksimal mungkin.
Lukman memang bukan pelaut. Tapi ia paham gelombang birokrasi. Dan yang sedang ia benahi sekarang bukan hanya struktur teknis, tapi juga pola pikir dan etos kerja.
Ia menyebutnya “menjaga merah putih.” Sebuah istilah yang mungkin terdengar patriotik, tapi sebenarnya sederhana: bekerja dengan hati, bukan hanya jabatan.
Ia tak ingin pelabuhan menjadi tempat yang membuat masyarakat kecil merasa takut. Ia ingin pelabuhan menjadi tempat yang memberikan rasa aman, bahkan bagi mereka yang hanya datang untuk menjual ikan atau mengantar barang dagangan.
Di ujung wawancara, ia menatap jendela ruangannya. Di luar, langit Kolaka mulai mendung. Angin pelabuhan terasa lembab.
“Semua sudah berjalan normal,” katanya, “tapi kita tidak cukup hanya puas dengan kata ‘normal’. Harus tertata. Harus terukur. Harus bisa dipercaya.”
Dan seperti dermaga, Lukman tampaknya tahu benar: kepercayaan itu tak dibangun dalam sehari.
Tapi jika fondasinya adalah niat baik — laut sekalipun akan memberi jalan. (*)
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti