Syulthan, Anak Kulisusu Buton Utara yang Tidak Basah oleh Hujan
Wilayah Kulisusu pagi itu mendung. Awan hitam menggantung pelan. Seolah memberi aba-aba, gerimis jatuh tak lama setelah petugas mulai membacakan naskah Pancasila.
Oleh: Edy Basri
Di Lapangan Raja Jin, tempat upacara Hari Lahir Pancasila digelar, belum lama ini, satu demi satu peserta mundur. Anak-anak sekolah menggigil, seragam basah kuyup. Sebagian diminta menepi. Sebagian memilih berlari.
Tapi ada satu yang tak bergeming.
Namanya Syulthan Aqbar Muhlis.
Kelas 8, SMP Negeri 2 Kulisusu. Tubuh kecilnya berdiri tegak. Diam. Di barisan yang sudah mulai kosong.
Hujan mengguyur seperti tumpahan langit. Tapi Syulthan tidak bergerak. Tidak menunduk. Tidak mengeluh. Tangannya tetap hormat saat lagu kebangsaan berkumandang. Ia tahu, hari itu bukan hari biasa. Itu Hari Lahir Pancasila.
Dan Pancasila, pikirnya, harus dihormati sampai titik hujan terakhir.
Rekaman aksinya menyebar di media sosial. Viral. Menembus batas desa, kota, dan provinsi. Warganet membanjiri kolom komentar dengan kalimat salut. Sebagian bahkan menangis. Seorang anak kecil, sendirian di tengah lapangan basah, memilih berdiri—bukan karena disuruh, tapi karena merasa wajib.
Bupati Buton Utara, Drs. H. Muhammad Ridwan Zakariah, pun tak tinggal diam.
Ia mengunggah sendiri momen itu di akun resminya. Ia tulis kalimat yang pendek, tapi dalam:
“Apresiasi untukmu, Nak. Jiwa nasionalismemu begitu tinggi.”
Hari berikutnya, Selasa 3 Juni 2025, Syulthan diundang secara khusus ke Kantor Sekretariat Daerah. Bersama ibunya, kakaknya, dan guru wali kelasnya.
Pertemuan berlangsung hangat. Tak ada protokoler kaku. Hanya peluk hangat negara kepada anak yang tahu cara mencintai Indonesia.
Sebagai bentuk penghargaan, Bupati memberikan uang tunai—bukan sekadar hadiah, tapi sebagai dukungan untuk pendidikan Syulthan ke depan.
“Semangat seperti inilah yang kami harapkan dari generasi muda,” ucap Bupati, sambil menepuk bahu Syulthan.
“Kau ajarkan kepada kami arti hormat, arti berdiri, dan arti tidak menyerah.”
Apa yang membuat seorang anak kecil bertahan di tengah hujan?
Bukan seragam. Bukan karena ada guru di sampingnya.
Tapi karena di dadanya, ada sesuatu yang tidak bisa basah: jiwa kebangsaan.
Syulthan tidak sedang mencari kamera. Ia bahkan tidak tahu aksinya direkam. Ia hanya merasa: ketika bendera naik, kita harus berdiri. Ketika lagu dinyanyikan, kita harus hormat. Itu saja.
Terkadang, pelajaran paling besar tidak datang dari ruang kelas, atau dari kurikulum. Tapi dari anak 13 tahun, yang tidak punya payung, tapi punya prinsip. (*)
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan