HEADLINE

Polisi Belum Tahan Mahasiswi Toraja Tersandung Kasus Uang Palsu di Palopo

Palopo, katasulsel.com — Seorang mahasiswi asal Toraja, berinisial ST (19), kini menjadi sorotan publik setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus peredaran uang palsu di Kota Palopo. Kasus ini mencuat usai ST diduga menggunakan dua lembar uang palsu pecahan Rp100 ribu untuk membeli tisu di sebuah warung kecil di Jalan Garuda, Kelurahan Rampoang, pada Rabu, 4 Juni 2025.

Aksi tersebut terbongkar ketika pemilik warung mencurigai keaslian uang yang digunakan pelaku. Setelah membandingkan dengan uang asli yang dimilikinya, ia segera melapor ke pihak berwajib. Penyelidikan cepat dari aparat Polres Palopo berujung pada penggeledahan kamar kos ST, tempat di mana polisi menemukan printer Epson L3210, kertas HVS A4, potongan uang palsu, gunting, handphone, serta barang-barang lain yang diduga digunakan untuk mencetak uang palsu.

Kendati telah menyandang status tersangka, pihak kepolisian belum melakukan penahanan. Menurut Kasat Reskrim Polres Palopo, Iptu Sahrir, keputusan ini diambil karena proses hukum masih memerlukan penguatan alat bukti, termasuk uji laboratorium dari pihak Bank Indonesia untuk memastikan keaslian uang tersebut dari sisi keilmuan. Selain itu, sikap kooperatif ST dan permintaan resmi dari pihak keluarga turut menjadi pertimbangan aparat.

ST saat ini dikenakan wajib lapor dua kali seminggu selama proses penyidikan berlangsung. Langkah ini menjadi bagian dari pendekatan hukum yang mempertimbangkan prinsip praduga tak bersalah, serta sisi kemanusiaan terhadap pelaku yang masih berstatus mahasiswa aktif.

Kasus ini menjadi alarm bagi masyarakat, terutama pelaku usaha mikro, untuk lebih waspada terhadap potensi peredaran uang palsu. Di sisi lain, ini juga membuka diskusi tentang tantangan yang dihadapi generasi muda dalam tekanan ekonomi dan bagaimana teknologi yang mudah diakses bisa dimanfaatkan untuk tindakan kriminal.

Meskipun ancaman pidana terhadap pelaku pemalsuan uang cukup berat—hingga 15 tahun penjara dan denda miliaran rupiah sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang—pendekatan hukum tetap mengedepankan kehati-hatian dalam setiap tahap prosesnya. Polisi pun masih mendalami apakah ST bertindak seorang diri atau terkait dengan jaringan yang lebih besar.

Peristiwa ini bukan hanya soal hukum, tapi juga menyentuh soal pendidikan, ekonomi, dan etika penggunaan teknologi. Seorang mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan, justru tersandung kasus pemalsuan—sebuah ironi yang menuntut refleksi lebih dalam dari banyak pihak.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version