Cerita Buruh Pelabuhan Parepare: Keringat Banyak, Gaji Tak Sampai
Parepare, Katasulsel.com — Di balik deru kapal dan debur ombak di Pelabuhan Cappa Ujung, ada suara lirih yang mulai meninggi. Sepuluh buruh bongkar muat datang ke DPRD Parepare. Mereka tidak membawa spanduk. Tak ada orasi. Hanya selembar nota dan wajah yang letih.
Isinya sederhana: nota pembayaran upah senilai Rp24 juta untuk satu kali pekerjaan bongkar muat kapal. Tapi saat dibagikan, uang yang diterima hanya Rp11 juta. Itu pun dibagi untuk 14 orang. Gaji per orang tak sampai sejuta. Padahal, mereka kerja nyaris tanpa henti.
Saiful, salah satu buruh, menceritakan bahwa mereka kadang kerja sampai 24 jam. Tanpa lembur. Tanpa makan dari perusahaan. Bahkan tanpa kepastian kapan dibayar. Mandor hanya bilang, “Segitu saja jatahta.” Tak ada rincian. Tak ada transparansi.
Ini bukan soal hitungan rupiah semata. Ini tentang keadilan. Tentang peluh yang tak sebanding dengan upah. Tentang sistem kerja yang berjalan tanpa kontrol. Dalam istilah ekonomi, inilah potret buruh informal dengan asymmetrical power relation—saat buruh tak punya posisi tawar terhadap atasan yang memegang kendali penuh.
Keluhan mereka didengar oleh Komisi 2 DPRD Parepare dan Dinas Tenaga Kerja. Pemerintah merespons cepat. Akan ada mediasi. Akan ada kejelasan. Ketua Komisi 2, Satria Parman Agoes Mante, bahkan berjanji akan menghadirkan mandor dan meminta penjelasan soal nota dan potongan upah.
Langkah ini menjadi titik terang kecil di tengah kecemasan besar. Setidaknya, suara para buruh sudah terdengar. Dan dari situ, semoga uang hasil kerja keras buruh dapat kembali ke tangan…(*)
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan