Bupati Syahar Targetkan 10 Ribu Hektare Kopi untuk Ekspor
Sidrap, Katasulsel.com — Tak ada yang instan dalam pertanian. Tapi Kabupaten Sidrap tampaknya punya resep sendiri untuk mengekspor masa depan—dalam tiga babak: pendek, menengah, dan panjang.
Cengkeh sudah berlayar. Ekspor pertama dari sistem tumpang sari—komoditas yang dulunya dianggap tanaman pinggiran—kini resmi menembus pasar luar negeri. Dalam catatan Dinas Pertanian, hasil tumpang sari cengkeh dari wilayah dataran tinggi di bagian barat Sidrap telah dikemas dan dikirim dalam jumlah besar sejak akhir 2024.
Jagung dan porang, komoditas yang tumbuh cepat dan tangguh terhadap iklim lokal, menjadi kuda pacu jangka pendek. Data per April 2025, volume tanam jagung di Sidrap telah mencapai 43.000 hektare. Sementara porang—yang digandrungi karena potensi ekspor ke Jepang dan Korea—sudah menembus 700 hektare lahan produktif.
Namun cerita sesungguhnya ada di kopi.
Di lereng selatan, di Desa Cenrana, Kecamatan Panca Lautang, pohon-pohon kopi tumbuh diam-diam sejak dua tahun lalu. Ditanam di bawah awan dan di atas tanah merah yang gembur. Kini, mereka mulai panen.
“Kopi robusta Sidrap sudah menikmati hasilnya. Petani di Cenrana telah menjual panen perdana dengan harga hingga Rp53 ribu per kilogram,” ujar Bupati Sidrap, H. Syaharuddin Alrif, dalam wawancara khusus, awal Juni 2025 lalu.
Syahar—begitu ia disapa—tidak sedang berandai-andai. Ia menargetkan 10.000 hektare untuk pengembangan kopi. Wilayah selatan dan timur menjadi titik fokus. Strateginya: memperluas penanaman, memperkuat bibit, dan mematangkan ekosistem pasar.
Target jangka menengahnya jelas: ekspor kopi Sidrap ke Eropa atau Timur Tengah dalam lima tahun ke depan.
“Pasar lokal sudah bagus. Sekarang tinggal membangun identitas. Branding kopi Sidrap sedang kami siapkan. Ini akan jadi game changer bagi pertanian kami,” tegas Syahar.
Tak main-main. Timnya kini menggandeng lembaga sertifikasi organik dan pihak eksportir untuk menjajaki pasar langsung. Proses kurasi dimulai dari pola tanam, pengolahan pasca panen, hingga aroma khas robusta lokal yang tumbuh di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut.
Hingga Mei 2025, lebih dari 1.200 petani telah bergabung dalam program kemitraan kopi. Sebagian besar berasal dari Panca Lautang, Watang Sidenreng, dan Kulo. Mereka mendapat pendampingan langsung dari penyuluh pertanian dan fasilitator dari dinas terkait.
Dan hasilnya mulai terlihat: produktivitas 1,6 ton per hektare untuk panen perdana. Angka yang menurut kalangan akademisi sudah sangat ideal untuk kopi robusta pemula.
Tapi Sidrap tidak berhenti di sana. Pemerintah daerah juga mendorong konsep agroindustri terintegrasi. Artinya: kopi bukan hanya diekspor dalam bentuk mentah, tetapi juga dalam bentuk bubuk, kemasan, hingga drip bag siap seduh.
Model ini mengikuti skema hilirisasi pertanian, strategi nasional yang kini diperkuat oleh banyak kabupaten. Di Sidrap, hilirisasi kopi menjadi cerita utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun berjalan.
Cengkeh, jagung, porang, kopi—semua tumbuh dalam skenario yang tertulis rapi. Tapi juga dalam kerja sunyi para petani yang menanam dengan harapan, bukan hanya bibit.
Dan dari balik aroma kopi yang diseduh di Cenrana, Sidrap sedang menyiapkan rute ekspor jangka panjang. Pelan, tapi pasti. (*)
Editor: Harianto
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan