Suara Lembut, Isi Menggelegar: Soetarmi di Tengah Seminar Hukum UIN Alauddin Makassar
Ia hadir sebagai reflective practitioner. Bukan dogmatis legalis.
Ia menjelaskan bahwa revisi RUU KUHAP tak boleh hanya mengganti pasal. Tapi harus menjawab kebutuhan zaman. Menjawab ketimpangan. Menjawab krisis kepercayaan terhadap hukum.
Jaksa seperti Soetarmi adalah barang langka. Ia bisa saja memilih duduk nyaman di balik meja, menandatangani berkas demi berkas.
Tapi hari itu, ia memilih berdiri di depan mahasiswa. Membuka ruang berpikir. Dan diam-diam, mengubah wajah hukum itu sendiri.
Ia datang bukan membawa palu. Tapi membawa harapan.
Dan di tengah rimba belantara sistem peradilan pidana yang penuh lorong kelam, Soetarmi menyalakan lentera kecil. Yang cahayanya mungkin tak langsung terang.
Tapi cukup untuk membuat kita tahu:
Bahwa keadilan masih bisa diperjuangkan.
Dan di hadapan forum, ia tak bersuara lantang. Tapi setiap kalimatnya menggedor nalar. Dalam seminar revisi RUU KUHAP itu, Soetarmi tidak sedang memamerkan logika hukum, tetapi justru memperlihatkan ius constituendum—hukum yang seharusnya.
Ia bicara soal Rekonstruksi Hukum Acara Pidana. Tentang pentingnya ruang pemulihan dalam sistem hukum—bukan sekadar penghukuman. Di tangannya, Restoratif Justice bukan lagi jargon, tapi jalan sunyi yang ia lalui sendiri di banyak kasus pidana ringan. Anak-anak, nelayan, petani—semuanya ia dekati bukan sebagai tersangka, tapi sebagai manusia.
Ketika moderator membuka sesi tanya jawab, beberapa mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum tampak tergugah. Salah satunya bertanya:
“Pak Jaksa, kenapa hukum kita selalu terasa berat ke bawah dan ringan ke atas?”
Soetarmi tersenyum. Ringan. Tapi jawabannya menggugah.
“Karena keadilan bukan soal aturan. Tapi siapa yang memegang aturannya.”
Jawaban itu membuat ruang seminar sunyi sejenak. Lalu riuh oleh tepuk tangan.
Hari itu belum selesai ketika kabar dari pusat datang.
Surat bernomor B-3063/K.Pkh.3/05/2025 dari Kejaksaan Agung RI tiba di meja Kejati seluruh Indonesia. Isinya: permintaan agar mengusulkan nama-nama jaksa terbaik untuk mengikuti Adhyaksa Award 2025.
Ada tujuh kategori.
Dan setidaknya tiga di antaranya seperti menggambarkan Soetarmi:
Jaksa Penegak Keadilan Restoratif
Jaksa Kreatif dalam Edukasi Hukum
Jaksa Inovatif dalam Penegakan Hukum
Ia tak tahu apakah akan diusulkan. Ia juga tak peduli apakah kelak akan menang. Tapi surat itu seperti pujian sunyi untuk jalan panjang yang telah ia tempuh selama ini.
Di kantor, seorang staf kejaksaan tinggi berkata lirih, “Pak Soetarmi harus diusulkan. Beliau tidak sekadar menegakkan hukum—beliau membangun nalar hukum dari bawah.”
Dan benar. Ia tidak hanya menjatuhkan tuntutan, tapi juga menanam benih hukum. Di desa. Di sekolah. Di ruang tahanan. Di hati yang luka.
Tak banyak yang tahu, sebagian materi seminar yang ia sampaikan di UIN Alauddin adalah ringkasan hasil evaluasi lapangan yang ia kumpulkan sendiri. Termasuk data empiris dari penerapan Diversi dan RJ (Restorative Justice) di wilayah-wilayah terpencil.
Di akhir seminar, ia pamit dengan tenang. Menyimpan semua makalah dalam map lusuh warna coklat. Seseorang dari panitia menyodorkan sertifikat. Ia menerimanya sopan, tanpa ekspresi.
Soetarmi tidak butuh panggung.
Tapi panggung itu—barangkali—sedang menuju ke arahnya.
Lewat Adhyaksa Award 2025.
Lewat pengakuan diam dari sistem yang sedang ia rawat pelan-pelan: sistem yang menjadikan hukum bukan cambuk, tapi cahaya. (*)
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan