Nasib Perempuan Muda di Makassar Tergeletak di Aspal, Dipukuli, Dijambak
Makassar, Katasulsel.com — Malam itu, Kamis, 3 Juli 2025, sebuah lorong di Jalan Serda Usman Ali, Kota Makassar, berubah menjadi panggung kekerasan. Seorang perempuan muda tergeletak di aspal. Dipukuli. Dijambak. Ditendang hingga tak sadarkan diri. Semua terekam. Semua disebarkan. Dan semua membuat kita kembali bertanya: sejak kapan kekerasan menjadi tontonan, bukan peringatan?
Korban berinisial NR, usia 21 tahun. Bukan siapa-siapa di mata pelaku, tapi kisah hidupnya layak digenggam erat. Putus sekolah. Anak ketiga dari enam bersaudara. Mengidap epilepsi. Tinggal hanya bersama sang ayah. Ibunya bekerja sebagai TKI di Malaysia. Tubuhnya lemah, tapi hatinya—barangkali—lebih kuat dari yang terlihat.
Pelaku adalah SA dan AI. Usia mereka masih belasan. SA, seorang mahasiswi. AI, penjual bakso. Mereka pasangan kekasih. Tapi malam itu, cinta tidak hadir. Yang hadir hanyalah amarah dan kekerasan. Hanya karena unggahan kalung di media sosial, keduanya menyeret NR ke sebuah pertemuan yang berakhir dengan luka.
Video penganiayaan yang beredar luas itu menunjukkan segalanya. Tangan-tangan muda yang seharusnya merawat, justru menghancurkan. Rambut korban dijambak. Tubuhnya ditendang dan dipukul berulang kali. Terakhir, ia terkapar. Pingsan di jalanan. Tak ada belas kasihan. Tak ada jeda untuk berpikir.
Polres Pelabuhan Makassar bertindak cepat. Kedua pelaku ditangkap di lokasi berbeda. Di rumah dan di kosan. Di lingkungan yang tampaknya tak pernah menduga mereka menyimpan potensi kekejaman.
Tidak hanya pelaku utama, sembilan orang saksi ikut dibawa untuk dimintai keterangan. Mereka tahu, mereka melihat. Tapi tidak menghentikan. Entah karena takut, atau karena sudah terbiasa menonton kekerasan dari balik layar ponsel.
Kepolisian membenarkan bahwa kronologi bermula dari hal sepele: penemuan kalung. Pelaku tersinggung karena unggahan. Emosi tidak dikendalikan. Kekerasan menjadi jawaban.
Namun, kasus ini bukan hanya soal kriminalitas. Ini soal kemiskinan rasa. Soal absennya empati. Soal minimnya pendidikan emosi dan sosial di tengah gempuran dunia digital.

UPT Perlindungan Perempuan dan Anak Sulsel kini mendampingi korban. Hukum dan psikologi berjalan berdampingan. Namun perhatian juga mulai mengarah ke pelaku. Karena pelaku adalah perempuan muda, negara harus hadir dengan pendekatan yang tidak sekadar menghukum, tapi juga mendidik. Jika tidak, kita hanya akan menuai kekerasan baru dari luka yang tidak disembuhkan.
NR bukan satu-satunya korban. Kita semua adalah saksi dari sunyinya empati. Saksi dari cepatnya jari-jemari membagikan video kekerasan tanpa refleksi. Dan saksi dari bagaimana sistem sosial kita seringkali gagal mencegah hal-hal seperti ini terjadi.
Di Makassar, malam itu, tubuh seorang gadis terhempas ke tanah. Tapi yang lebih menyedihkan: rasa kemanusiaan juga ikut jatuh bersamanya. (*)
Editor: Tipoe Sultan