Seorang Ibu di Makassar Diduga Bunuh Bayinya yang Baru Berusia Dua Bulan

Makassar, katasulsel.com — Senin pagi yang biasa berubah muram. Di sebuah rumah di Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, seorang bayi laki-laki usia dua bulan ditemukan tak bernyawa. Diduga, ibunya sendiri yang mengakhiri hidup bayi itu. Bukan karena benci. Tapi karena jiwa yang rapuh. Karena depresi yang tak disadari. Karena keheningan yang terlalu panjang.

Ibu muda itu berinisial NA. Usianya 25 tahun. Ia membawa jenazah bayinya sendiri ke rumah sakit. Dingin. Kaku. Tak lagi menangis. Sebuah toples plastik yang pecah ditemukan di lokasi. Dipercayai menjadi alat yang dipakai untuk memukul kepala bayi. Ada juga bantal dan seprai penuh bercak sebagai bagian dari bukti.

Tak ada yang siap menghadapi kenyataan itu. Suaminya datang ke kantor polisi dengan tangis histeris. Orang-orang di sekitar pun tak habis pikir. Tapi mereka juga tahu. Bahwa sang ibu sering marah-marah. Sering teriak. Kadang berbicara sendiri. Dan sayangnya, tak ada yang bergerak. Tak ada yang benar-benar peduli.

Petugas pun membawa NA untuk menjalani pemeriksaan kejiwaan. Ada tanda-tanda trauma. Perkataan yang berubah-ubah. Kadang merasa bersalah. Kadang tidak ingat. Kadang hanya diam. Tapi satu yang pasti: ia butuh pertolongan. Dari dulu.

Kasus ini bukan sekadar kriminalitas. Ini adalah potret retaknya sistem kepedulian sosial. Lingkungan yang ramai, tapi relasi antarwarga yang sunyi. Keluarga yang tahu, tapi mengabaikan. Masyarakat yang melihat, tapi tidak bertindak. Gangguan jiwa masih dianggap aib. Didiagnosis sebagai kutukan. Bukan sebagai kondisi medis yang butuh intervensi.

Seorang bayi dua bulan tewas. Bukan karena ia salah. Tapi karena tidak ada yang cukup peka untuk melihat ibunya sedang jatuh. Terlalu banyak suara yang diam. Terlalu banyak tetangga yang memilih tutup telinga. Terlalu banyak sistem yang lamban.

Tanggung jawab tidak berhenti di tangan polisi atau psikiater. Ia harus dimulai dari meja makan keluarga, dari posyandu yang peka, dari RT dan RW yang tidak sekadar mengurus administrasi. Perlu keberanian untuk berbicara tentang gangguan mental. Dan perlu ruang aman agar perempuan yang rapuh tak merasa sendiri.

Kematian itu seharusnya tidak terjadi. Tapi ia telah terjadi. Sekarang tinggal pertanyaan: apakah kita hanya akan diam lagi, menunggu tragedi berikutnya?

banner 300x600

Karena jika tidak belajar dari kejadian ini, maka kita bukan hanya kehilangan bayi. Kita kehilangan kemanusiaan. (*)

Editor: Tipoe Sultan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup