Tuntas Sudah Tanggung Jawab Hukum atas Skandal Proyek Air Limbah Makassar
Makassar, Katasulsel.com — Tiga kursi terdakwa di Pengadilan Tipikor Makassar akhirnya tak lagi kosong. Setelah perjalanan panjang di meja penyidikan, vonis pun dijatuhkan. Kamis, 10 Juli 2025, menjadi penanda bahwa negara tidak diam ketika keuangan publik dipermainkan.
Tiga nama dipastikan bersalah dalam perkara korupsi Proyek Pembangunan Perpipaan Air Limbah Kota Makassar Zona Barat Laut (Paket C) Tahun Anggaran 2020–2021 senilai Rp68 miliar. Ketiganya—dari swasta hingga pejabat negara—divonis penjara dalam sidang terbuka di Pengadilan Negeri Makassar.
Jaluh Ramjani, Direktur Cabang PT Karaga Indonusa Pratama, dihukum 4 tahun penjara, denda Rp300 juta, dan uang pengganti Rp1,2 miliar subsider 2 tahun kurungan. Ia dinilai paling bertanggung jawab dalam modus rekayasa pelaksanaan proyek. Jaluh terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, sebuah pasal yang tak main-main karena menyangkut niat jahat yang terang dan nyata.
Setia Dinnor, selaku PPK Paket C, diganjar pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp100 juta. Sementara Ennos Bandaso, Ketua Pokja Pemilihan Paket C3, dijatuhi vonis 1 tahun dan denda Rp50 juta. Keduanya dianggap menyalahgunakan kewenangan dalam proses pengadaan barang dan jasa.
Data kejaksaan menyebutkan, penyimpangan pekerjaan menghasilkan selisih bobot pengerjaan sebesar 54,20 persen dari volume seharusnya. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan tidak kecil: Rp8 miliar—uang yang sejatinya bisa mengalir ke pembangunan sanitasi warga, justru menguap dalam kesepakatan gelap.
“Pekerjaan tidak sesuai progres. Ada pembayaran atas fisik yang tak nyata. Negara dirugikan,” terang Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, dalam keterangan resmi.
Meski vonis ketiganya lebih ringan dari tuntutan JPU Kejati Sulsel, pihak kejaksaan tetap menghormati keputusan majelis hakim. Jaluh semula dituntut 4 tahun 6 bulan, Setia 4 tahun, dan Ennos 3 tahun penjara. Namun, dengan putusan yang sudah dibacakan, baik jaksa maupun pihak terdakwa menyatakan “pikir-pikir”.
Perkara ini menjadi pengingat bahwa proyek-proyek infrastruktur, sebesar apapun nilainya, tak bisa lagi dijalankan dengan cara-cara lama. Era transparansi menuntut akuntabilitas. Dan pengadilan telah memainkan perannya.

Tidak ada kemewahan dalam vonis itu. Hanya keadilan, yang sekali ini, tampil dalam bentuk angka, tahun, dan denda. (*)
Editor: Edy Basri / Reporter: Tipue Sultan