Dosen HY Gantung Diri di Makassar, Polisi: Tidak Ada Tanda Kekerasan

Makassar, Katasulsel.com — Sabtu pagi, udara di sekitar kawasan Tidung, Makassar, terasa lengang. Hanya angin yang berselisih tipis dengan waktu. Namun, kesunyian itu pecah oleh sebuah temuan yang menggetarkan: seorang pria, tergantung tak bernyawa di depan gerbang Poltekkes Kemenkes.

Ia bukan orang asing. Bukan pula gelandangan tanpa nama. Ia adalah seorang dosen. Seorang akademisi. Inisialnya HY. Dosen di Universitas Negeri Makassar (UNM). Hidup sendiri, jauh dari keluarga, terkungkung dalam sunyi yang tak terucapkan.

“Tidak ada tanda kekerasan,” tegas Kapolsek Rappocini, Kompol Ismail. “Murni gantung diri,” tambahnya, ringkas.

Polisi tak butuh waktu lama menyimpulkan kematian HY sebagai kasus suicidal hanging. Keluarga—mungkin karena alasan keyakinan atau trauma—menolak autopsi. Dalam kajian forensik, penolakan autopsi kerap menyulitkan investigasi lanjutan, namun dalam aspek etikomedis, hak keluarga tetap dikedepankan.

Ismail mengungkapkan bahwa HY diketahui mengalami gangguan psikis. “Dia ngekos, tinggal sendiri. Sepertinya depresi,” ucapnya.

Depresi, dalam perspektif psikologi klinis, adalah gangguan afektif yang ditandai oleh suasana hati murung berkepanjangan, kehilangan minat, serta perasaan putus asa yang intens. Dalam beberapa kasus ekstrem, ia bisa berujung pada perilaku fatal: suicidal ideation yang kemudian dieksekusi.

Motor matic ditemukan di lokasi kejadian. Tak satu pun warga sekitar yang mengaku memilikinya. Polisi menduga itu milik HY. “Sedang kami dalami,” kata Ismail.

Penemuan jasad HY bermula dari laporan seorang warga. Ia mengenakan jaket hitam dan celana panjang cokelat. Mayat itu tergantung, diam, seperti mengendapkan segala bentuk narasi yang tak sempat ditulis, tak sempat diajarkan di ruang kelas.

banner 300x600

“Warga baju kuning masuk ke dalam, bilang ke saya,” tutur Jalamuddin, petugas sekuriti Poltekkes Tidung.

Jamaluddin segera mengecek lokasi. “Saya langsung foto, lalu telepon Babinsa,” kisahnya. Sekira pukul 09.00 Wita, nalar akademik kota Makassar kehilangan satu titik cahayanya.

HY hanyalah satu dari sekian banyak jiwa yang mungkin terdampak oleh tekanan struktural dan psikososial. Beban pekerjaan, tuntutan akademik, keterasingan, atau mungkin luka-luka batin yang tak terungkap—semuanya bisa menjadi pemantik depresi klinis.

Kasus ini bukan sekadar kriminalitas tanpa pelaku, tapi potret getir tentang pentingnya layanan kesehatan mental yang terintegrasi di lingkungan kampus.

Dalam ilmu psikiatri, kematian HY bisa jadi mencerminkan satu spektrum yang disebut “invisible suffering” atau penderitaan yang tak tampak secara kasat mata—karena sistem sosial tak cukup peka menangkapnya.

Ia telah pergi. Tapi semoga suaranya, yang bisu dalam kematian, bisa didengar sebagai alarm bagi kita semua.(*)

Editor: Tipoe Sultan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup