Kamu Wartawan Yah? Dahlan Iskan Lalu Ajak Saya Naik Heli Sidrap ke Bone…

Dahlan Iskan

Kalimatnya sederhana, tapi nadanya tidak main-main. Inilah gaya Dahlan: bicara seolah sedang menulis kolom. Tegas, langsung, tapi tetap ada kehangatan.

“Ayo Ikut Saya ke Bone, Naik Heli Saja”

Selesai meninjau lokasi dan berdiskusi dengan tim manajemen, saya mengira hari itu selesai. Tapi Dahlan mendekati saya, mungkin karena melihat saya dari tadi mengikuti langkahnya tanpa banyak bertanya. Ia menepuk bahu saya.

“Kamu wartawan, ya?”

Saya mengangguk cepat.

“Dari koran mana?”

“Fajar, Pak.”

“Oh, Fajar. Koran bagus. Ayo ikut saya ke Bone. Naik heli aja. Lanjut liputan.”

Saya tercekat. Wartawan mana yang tak tergoda? Tapi saya menoleh ke rekan-rekan lain, lalu ke editor saya yang sudah di ujung kompleks peternakan. Belum sempat menjawab, Dahlan sudah melangkah ke heli. Ia hanya menoleh sambil tersenyum.

“Kalau tidak ikut, berarti berita besok kurang lengkap,” katanya setengah menggoda.

Saya tak jadi naik. Tapi momen itu melekat seumur hidup. Karena bukan soal heli atau Bone. Tapi soal bagaimana seorang pejabat tinggi negara masih melihat wartawan sebagai teman dialog, bukan sekadar objek pengantar berita.

Ia Pernah Menjadi Kita

Dahlan Iskan tidak pernah benar-benar melepaskan dirinya dari dunia jurnalisme. Ia bukan menteri yang datang dari kampus atau partai politik. Ia datang dari dunia tulis-menulis, dari deadline, dari halaman depan, dari ruang redaksi yang panas dan berisik. Maka tak heran kalau ia lebih suka menulis sendiri penjelasannya di blog ketimbang konferensi pers kaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup