Foto Ilustrasi
Soppeng, Katasulsel.com – Masjid yang semestinya menjadi ruang suci dan aman, justru menjadi saksi bisu atas peristiwa memilukan yang terjadi di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Seorang pria lanjut usia berinisial R (63), kini ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Soppeng atas dugaan pencabulan terhadap seorang remaja perempuan di lingkungan Masjid Kelurahan Botto, Kecamatan Lalabata.
Peristiwa yang terjadi pada Kamis malam, 17 Juli 2025 itu awalnya mencuat setelah beredar video amatir di media sosial. Dalam video berdurasi singkat tersebut, tampak seorang ibu menangis histeris sambil menghadang seorang pria bersorban yang diduga telah mencium anaknya tanpa izin. Warga yang berada di sekitar lokasi segera mengamankan pelaku, yang sempat berusaha meninggalkan tempat kejadian.
Kapolres Soppeng AKBP Aditya Pradana dalam keterangannya menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan pemeriksaan mendalam, termasuk visum dan keterangan saksi. Hasil penyidikan menetapkan R sebagai tersangka dan langsung dilakukan penahanan. Ia dijerat dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang merupakan amendemen dari UU No. 23 Tahun 2002.
“Pelaku kini kami tahan dan akan kami proses dengan ketentuan hukum yang berlaku. Korban dan keluarganya juga mendapatkan pendampingan psikologis dari unit Perlindungan Perempuan dan Anak,” ungkap Aditya.
Kasus ini tidak hanya mengusik rasa keadilan publik, tetapi juga menggugah kesadaran kolektif tentang pentingnya perlindungan anak di ruang publik, termasuk tempat ibadah. Di tengah derasnya gelombang digitalisasi informasi, aparat juga mengimbau agar masyarakat tidak menyebarluaskan identitas korban ataupun rekaman visual yang menampilkan wajahnya, demi menjaga martabat dan masa depan psikologis anak.
Psikolog anak, Rina M, menilai kejadian ini harus menjadi refleksi bagi seluruh elemen masyarakat. “Anak-anak adalah subjek hukum yang rentan. Mereka membutuhkan pengawasan sistematis, terutama di tempat-tempat yang secara normatif dianggap aman. Kasus ini menunjukkan betapa predator bisa hadir dalam wujud yang tidak disangka-sangka.”
Hingga kini, proses hukum terhadap tersangka masih berjalan. Polisi membuka kemungkinan untuk memperluas penyidikan apabila ditemukan fakta baru. Masyarakat pun diajak untuk meningkatkan kewaspadaan dan memperkuat jaringan perlindungan berbasis komunitas.
Peristiwa ini menjadi pengingat getir bahwa ruang ibadah sekalipun tak kebal dari tindakan menyimpang. Ketegasan hukum dan empati sosial harus berjalan beriringan, agar keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirasakan.(*)
Editor: Tipoe Sultan
Tidak ada komentar