MAMUJU, Katasulsel.com – Di tengah gemuruh agenda pembangunan nasional, satu kebutuhan dasar masih menjadi tantangan nyata di jantung Sulawesi Barat: listrik. Namun kini, upaya menghadirkan terang ke desa-desa yang masih gelap di Kabupaten Mamuju mulai menyatu dalam semangat kolaborasi. Pemerintah Provinsi Sulbar, PT PLN, dan Pemerintah Kabupaten Mamuju sepakat mengakselerasi elektrifikasi sebagai pintu masuk menuju keadilan energi.
Pertemuan strategis yang digelar 17 Juli 2025 lalu mempertemukan Bupati Mamuju Hj. Sitti Sutinah Suhardi, jajaran PLN, Dinas ESDM, dan sejumlah kepala desa. Agenda utama: meretas kegelapan dari 11 desa yang hingga kini belum tersambung jaringan listrik. Wilayah itu tersebar di Kecamatan Tapalang, Kalumpang, Mamuju, hingga Bala-Balakang—sebagian besar berada di medan sulit dan rentan terpinggirkan dari radar pembangunan.
Manager PLN UP2K Sulbar, Izbet Alighorky, menyebut bahwa kendala terbesar saat ini adalah ketepatan data. “Kami butuh validasi langsung dari para kepala desa dan camat. Di mana persisnya dusun yang belum berlistrik, berapa jumlah rumah, dan kondisi geografisnya. Itu akan menjadi dasar teknis bagi kami,” tegasnya.
Dalam situasi ini, listrik tak sekadar fasilitas rumah tangga, tetapi menjadi prasyarat bagi seluruh transformasi sosial. Bupati Sutinah menegaskan komitmennya. “Listrik adalah fondasi dari pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat. Kami tidak ingin ada anak-anak yang belajar dalam gelap ketika bangsa bicara soal sekolah digital,” ujarnya.
Komitmen itu mendapat konteks konkret. Dari total 31 sekolah digital yang terdata di Kabupaten Mamuju, baru 14 yang telah dialiri listrik—sisanya masih bergantung pada skema bantuan sosial atau menanti dukungan APBD. Bupati menyebut bahwa percepatan elektrifikasi untuk sekolah-sekolah ini akan menjadi bagian dari kontribusi daerah terhadap program nasional digitalisasi pendidikan di era Presiden Prabowo.
Kabid Ketenagalistrikan Dinas ESDM Sulbar, Qamaruddin Kamil, menyampaikan bahwa provinsi terus menempuh jalur-jalur strategis untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. Dari pembangunan pembangkit energi baru terbarukan skala kecil, listrik gratis bagi warga miskin ekstrem, hingga percepatan jaringan PLN—semuanya diarahkan untuk mengejar keadilan energi di wilayah yang masih timpang.
“Kita tidak sedang membicarakan kemewahan, kita bicara tentang keadilan dasar. Di abad digital, tidak ada ruang untuk membiarkan masyarakat hidup tanpa akses listrik,” tegas Qamaruddin.
Pesan tersirat dari pertemuan ini pun jelas: membangun tak lagi bisa menunggu. Dusun-dusun yang masih dalam kegelapan bukan hanya angka statistik, mereka adalah bagian dari republik yang harus disapa dengan fasilitas, bukan janji. Dan listrik, dalam konteks itu, menjadi penanda paling konkret bahwa negara hadir sampai ke pelosok.
Dengan sinergi lintas sektor dan peran aktif pemerintah desa, Mamuju berpeluang menjadi simbol keberhasilan transisi energi inklusif di Sulawesi Barat. Sebab menghadirkan terang, bukan sekadar urusan kabel dan tiang, tapi tentang meyakinkan rakyat bahwa masa depan mereka—secerah cahaya yang menyala di malam hari—sedang diperjuangkan bersama.(*)
Editor: Tipoe Sultan
Tidak ada komentar