Yang menarik dari kuliah daring ini bukan cuma karena pesertanya ratusan, atau datang dari kampus-kampus seantero Indonesia. Tapi karena ada satu nama dari negeri jiran yang bikin suasana jadi beda.
Oleh: Ismail Suardi Wekke
Profesor Madya Dr. Azhar Jaafar. Lihat namanya saja, kita sudah bisa membayangkan aksen Malaysia-nya yang lembut tapi penuh wibawa. Lebih dari itu, dia bukan dosen sembarangan.
Beliau adalah Pengarah Institut Peradaban Islam Antarabangsa, UCYP Universiti Malaysia.
Acara ini namanya “Kuliah Pemikiran”, sesi ke-13. Diselenggarakan Jumat, 25 Juli 2025, secara daring. Tapi meski daring, atmosfernya terasa hangat. Kadang dalam forum virtual, kita cuma datang, diam, terus pergi. Tapi yang ini lain. Ada yang hidup di antara layar-layar itu.
Pesertanya beragam. Dari UIN Raden Mas Said Surakarta, IAI Tasikmalaya, IAI Hamzanwadi Pancor, IAI Rawa Aopa Konawe Selatan, STAI Al-Furqan Makassar, sampai STIT Sunan Giri Bima dan para alumni STKIP Bima. Bahkan Universitas Bondowoso ikut nimbrung.
Ini bukan kelas online biasa. Ini sudah seperti pertemuan akbar orang-orang yang rindu berdiskusi serius.
Prof. Azhar membuka pemaparannya dengan tenang. Tapi sejak awal, kita sudah tahu, ini bukan sesi ceramah satu arah. Ini dialog.
Bahasanya akademis, tapi tidak menjauh dari kehidupan sehari-hari. Ia berbicara soal tantangan zaman, peradaban Islam, dan bagaimana umat Islam bisa tetap berdiri tegak di tengah gempuran modernitas dan globalisasi.
“Peradaban bukan sekadar sejarah masa lalu,” katanya. “Ia hidup dan bergerak bersama cara kita berpikir hari ini.”
Layar-layar penuh wajah serius. Tapi sesekali ada yang tersenyum, tertawa kecil, ketika Prof. Azhar menyelipkan cerita. Itu ciri khas akademisi yang matang—tahu kapan harus berat, kapan harus ringan.
Direktur IUCSRS, Ismail Suardi Wekke, yang juga Rektor IAI Rawa Aopa, tampak puas. Ia membuka forum dengan ucapan terima kasih kepada semua pihak, termasuk STIT Sunan Giri Bima yang menjadi tuan rumah teknis. Tapi apresiasi khusus tentu untuk sang profesor dari Malaysia. “Ini menjadi momen berharga,” kata Ismail.
Sesi tanya jawab berlangsung ramai. Ada yang bertanya tentang tantangan pemikiran Islam di era digital, ada yang mengangkat soal keberagaman madzhab, bahkan sampai pada isu metodologi pendidikan tinggi Islam. Prof. Azhar menanggapi semua dengan tenang. Tidak panjang-panjang, tapi cukup dalam untuk membuat orang berpikir ulang.
Di akhir sesi, panitia menyampaikan rencana kelanjutan. Kuliah Pemikiran sesi ke-14 sudah disiapkan. Topiknya belum dibocorkan, tapi katanya tak kalah menarik.
Kalau sesi ke-13 ini membawa kita menyeberang ke Malaysia, siapa tahu sesi berikutnya akan membawa kita lebih jauh—atau justru lebih dalam ke akar-akar kita sendiri.
Kuliah ini seperti kopi sore hari. Tidak harus bikin kenyang, tapi cukup untuk menyegarkan kepala. Apalagi kalau yang menyajikan adalah profesor dari negeri jiran, dengan tutur yang lembut, tapi tajam. (*)
Tidak ada komentar