Di sebuah sudut kota Makassar, tepatnya di Jalan Sunu, ada wangi berbeda yang tak dijual di mal, tak pula bisa dibeli dalam bentuk diskon.
Oleh Edy Basri
Ia datang dari keberanian, ketekunan, dan keyakinan seorang pengusaha bernama H. Syech Bahar Yahya. Nama lengkap yang mungkin terlalu formal untuk orang-orang dekatnya yang lebih suka menyapa: SBY.
SBY bukan politikus, meski punya jaringan kuat. Ia juga bukan pesulap, meski mampu mengubah cairan bening menjadi aroma yang bisa membuat orang jatuh cinta. Ia adalah otak di balik Safari Parfum—sebuah merek yang kini jadi legenda sunyi di antara toko-toko waralaba besar.
Yang menarik, SBY tak menutup-nutupi proses dapurnya. Tidak seperti kebanyakan pemilik usaha yang menutup rapat “rahasia dapur”, ia justru mengajak wartawan masuk, menyusuri lorong-lorong laboratorium, mencium aroma bahan baku yang datang dari Prancis hingga Timur Tengah, dan melihat mesin penyulingan berukuran besar yang berdengung tanpa lelah.
“Teknologi ini bisa produksi 25 ribu botol sehari. Sendiri. Tanpa bantuan tangan manusia,” katanya santai, seolah tak sadar bahwa ia sedang bicara tentang satu lompatan teknologi yang tak banyak dilakukan pelaku industri parfum lokal.
Dari tempat itulah parfum Safari lahir. Bukan sekadar campuran alkohol dan esens. Tapi juga perasaan. Ia racik sendiri aroma-aroma itu, seperti seorang komposer yang sedang menyusun not balok wangi.
Satu hal yang membuat Safari Parfum tak seperti merek lain: keberaniannya membuka jendela dapur ke publik. Di dunia usaha, itu semacam pamer rahasia. Tapi bagi SBY, itu bagian dari tanggung jawab moral.
“Kalau kita percaya pada kualitas, untuk apa takut transparan?” ujarnya.
Safari Parfum kini sudah punya cabang di mana-mana: dari Sulawesi Selatan ke Kalimantan, menyeberang ke Jawa, bahkan hingga Papua. Tapi ekspansi itu tidak membuat Safari kehilangan “jiwa kampungnya.” Ia tetap menjaga rasa—dan rasa itu datang dari loyalitas pelanggan yang bertahun-tahun percaya.
“Bisnis parfum ini seperti kebutuhan pokok,” katanya. Dan ia tidak salah. Di dunia yang serba visual, aroma adalah identitas yang tidak terlihat tapi mengikat kuat.
SBY tahu betul itu. Ia bukan sekadar penjual parfum, ia juga pencium tren. Dan saat orang lain sibuk perang harga, ia sibuk memperbaiki kualitas. Saat yang lain mendekor etalase, ia justru mendesain mesin baru.
Kini, dari Jalan Sunu, aroma bisnis Safari Parfum makin kuat. Mewangi sampai ke pulau-pulau. Ia tidak hanya menjual wangi. Ia menyebarkan pesan: bahwa dari tempat yang sunyi, kadang muncul sesuatu yang harum. Bukan karena kebetulan. Tapi karena kerja keras, keyakinan, dan teknologi. (*)
Tidak ada komentar