Pahang, katasulsel.com — Dunia pendidikan tinggi tengah bergerak cepat ke arah baru. Di tengah gelombang perubahan digital yang melesat tanpa kompromi, Universiti College of Yayasan Pahang (UCYP) menjadi tuan rumah pertemuan strategis bertajuk Southeast Asia Symposium in AI Powered Pedagogy, Selasa, 5 Agustus 2025. Sorotan utama terarah pada kehadiran Ketua Umum DPP APTIKIS, Dr. H. Maslim Halimin, M.M., yang tampil sebagai keynote speaker dalam forum akademik prestisius tersebut.
Bertempat di Dewan Aqua Crystal, kampus utama UCYP di jantung Negeri Pahang, Malaysia, simposium ini mempertemukan para pemimpin dan akademisi dari 14 perguruan tinggi swasta Islam se-Asia Tenggara. Dari Indonesia, APTIKIS (Asosiasi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta) tampil membawa visi besar: membangun masa depan pendidikan Islam yang cakap teknologi, namun tetap memelihara ruh kemanusiaan.
Dalam pidato utamanya, Dr. Maslim Halimin menekankan pentingnya memahami kecerdasan buatan (AI) bukan semata sebagai alat bantu, melainkan sebagai ekosistem baru yang akan menentukan arah kreativitas generasi mendatang. “Artificial Intelligence bisa menumbuhkan kreativitas, namun ia juga bisa menjadi ancaman. Itu semua bergantung pada bagaimana kita memakainya,” ujar Maslim lugas, membuka ruang refleksi di tengah gemuruh teknologi.
Pernyataan itu tidak berdiri sendiri. Dr. Ismail Suardi Wekke, anggota Dewan Pakar APTIKIS yang turut hadir sebagai pembicara, memperkuat gagasan serupa. Baginya, AI adalah alat yang netral — dapat membebaskan atau membelenggu. Semua berpulang pada nilai yang ditanamkan di balik penggunaannya. “Kita harus membangun literasi digital yang bukan sekadar menguasai algoritma, tapi juga menyentuh etika dan nilai spiritual,” tegas Ismail.
Kolaborasi antara APTIKIS dan UCYP dalam simposium ini bukan pertemuan sesaat. Keduanya tengah menjalin kemitraan strategis yang melampaui pertemuan ilmiah. Dalam diskusi bilateral yang berlangsung tertutup pasca simposium, kedua lembaga sepakat merancang kerja sama lebih luas di bidang riset, pertukaran dosen, serta pengembangan kurikulum berbasis AI untuk pendidikan tinggi Islam.
“Simposium ini hanya awal. Kami melihat UCYP sebagai mitra potensial untuk membangun jejaring keilmuan Islam yang kuat dan adaptif terhadap era digital,” ungkap Dr. Maslim dalam wawancara khusus usai acara.
Simposium ini sendiri bukan hanya ajang wacana. Berbagai sesi paralel digelar dengan menghadirkan panel-panel diskusi dari akademisi se-Asia Tenggara. Tema-tema seperti AI dalam Metodologi Pengajaran, Etika Algoritma dalam Perspektif Islam, dan Strategi Inklusif untuk Pendidikan Berbasis Data menjadi pokok bahasan hangat yang menghidupkan setiap ruang dialog.
Keikutsertaan 14 perguruan tinggi anggota APTIKIS menegaskan semangat kolektif dalam membangun masa depan pendidikan Islam yang tidak tertinggal oleh arus teknologi. Mereka datang tidak hanya untuk belajar, tetapi juga berbagi praktik baik yang selama ini tumbuh di kampus-kampus Indonesia.
Ketika ditanya apa makna strategis dari simposium ini bagi APTIKIS, Dr. Maslim menyebutnya sebagai bagian dari diplomasi akademik. “Di sinilah kita menampilkan wajah baru pendidikan Islam Indonesia — terbuka, progresif, dan siap berkompetisi di panggung global,” ujarnya.
Sebagai penutup, suasana simposium hari itu menjadi simbol arah baru: bahwa pendidikan tinggi Islam tidak sedang berjalan di belakang zaman, melainkan berdiri sejajar, bahkan berpotensi menjadi pemandu di tengah kebingungan etika yang kerap menyertai perkembangan AI.
APTIKIS dan UCYP telah menunjukkan bahwa ketika akademia disatukan oleh visi yang besar dan nilai yang kuat, maka batas-batas negara menjadi kabur — dan yang tersisa adalah semangat kolaborasi untuk masa depan bersama. (*)
Editor: Tipue Sultan
Tidak ada komentar