Soppeng, Katasulsel.com — Kabupaten Soppeng memasuki paruh kedua 2024 dengan catatan demografis yang menggembirakan. Jumlah penduduk meningkat, sementara angka kemiskinan mengalami penurunan signifikan. Sebuah pencapaian yang patut dicermati di tengah tekanan ekonomi yang masih menyelimuti berbagai wilayah Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, total penduduk Soppeng kini mencapai 241.364 jiwa. Kenaikan ini menempatkan kabupaten yang dikenal sebagai Bumi Latemmamala itu di posisi ke-18 dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dalam hal jumlah populasi. Sementara itu, tingkat kemiskinan pada Maret 2024 tercatat sebesar 6,9 persen. Angka ini turun dari 7,48 persen pada tahun sebelumnya—sebuah penurunan yang berarti lebih dari seribu warga kini tidak lagi tergolong miskin secara statistik.
Namun di balik statistik itu, tersembunyi kerja panjang. Garis kemiskinan di Soppeng pun mengalami peningkatan, dari Rp398.802 pada 2023 menjadi Rp411.958 per kapita per bulan tahun ini. Kenaikan batas ini mencerminkan bertambahnya biaya hidup dasar yang harus dipenuhi masyarakat untuk keluar dari kategori miskin.
Secara historis, angka kemiskinan Soppeng sempat menyentuh titik tertinggi pada 2008 dengan 11,22 persen. Kini, dua dekade berselang, angka itu terus menyusut. Penurunan konsisten sejak 2015—yang kala itu masih di angka 8,36 persen—menunjukkan bahwa langkah-langkah pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah daerah memberi dampak.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Dibandingkan beberapa kabupaten tetangga, Soppeng tergolong moderat. Lebih rendah dari Sinjai, Takalar, dan Palopo, namun belum setara Parepare atau Makassar yang mencatatkan kemiskinan di bawah lima persen. Artinya, kerja belum selesai. Pemerintah daerah dihadapkan pada kebutuhan untuk melampaui sekadar menurunkan angka kemiskinan: membangun ketahanan ekonomi warga agar tak mudah kembali jatuh.
Tentu, keberhasilan ini tak datang dengan sendirinya. Peran lintas sektor, mulai dari pertanian, pendidikan, kesehatan hingga infrastruktur dasar, menjadi tulang punggung transformasi sosial yang berlangsung senyap tapi berdampak. Di pedalaman Marioriawa, hingga dataran tinggi Citta, geliat UMKM, intensifikasi pertanian, serta program bantuan sosial berbasis data perlahan mulai menyentuh sasaran.
Pemerintah daerah, melalui BPS dan instansi terkait, juga rutin menyajikan data terbuka dalam berbagai publikasi, seperti “Soppeng Dalam Angka” maupun “Indikator Kesejahteraan Rakyat.” Transparansi ini memungkinkan masyarakat turut mengawal arah kebijakan dan memastikan bahwa pengentasan kemiskinan tidak berhenti sebagai retorika.
Bagi warga Soppeng, angka 6,9 persen bukan sekadar statistik. Ia adalah cermin dari perubahan sosial yang terus bergerak. Sebuah pertanda bahwa ketika kebijakan menyentuh kebutuhan nyata rakyat, maka hasilnya bisa dirasakan dalam hidup sehari-hari. Di sela geliat pasar Watansoppeng dan sunyi persawahan di Lilirilau, harapan untuk hidup yang lebih layak tampak mulai mendapatkan ruang. Dan itu layak disyukuri. (*)
Editor: Tipue Sultan
Tidak ada komentar