Sudah lewat lebih dari sebulan. Gedung Serbaguna Maros itu kini sepi. Tak ada lagi deru penerjemah simultan di pojok ruangan. Tak ada lagi antrean pembicara dari 15 negara yang berganti-ganti naik ke panggung.
Penulis: Edy Basri
Konferensi Internasional Gau Maraja sudah selesai sejak 4 Juli lalu. Tapi seperti bau hujan yang menempel di tanah, jejaknya belum hilang. Masih ada yang tertinggal di kepala banyak orang di sini.
Yang paling ramai dibicarakan tentu temuan Prof. Adam Brum dari Griffith University, Australia. Ia datang ke Maros bukan sekadar untuk memberi ceramah. Ia datang dengan “bom” data: lukisan gua di Leang-leang adalah yang tertua di dunia.
Bukan empat ribu tahun, bukan sepuluh ribu, tapi lebih dari 45 ribu tahun. Usia yang bahkan membuat piramida di Mesir terasa seperti bangunan baru.
Sejak itu, Leang-leang tak lagi sama. Beberapa pekan terakhir, peneliti asing mulai mengirim email ke pihak panitia. Ingin berkunjung. Ingin riset bersama.
Bahkan ada yang menawarkan kolaborasi pameran internasional. Semua berawal dari satu panggung, satu kalimat, dan satu kebenaran yang ditemukan di dinding gua.
Ismail Suardi Wekke, panitia yang mengurus publikasi acara, bercerita sambil tersenyum. “Yang tersisa itu bukan hanya materi seminar, tapi hubungan. Ada grup WhatsApp peneliti yang masih aktif sampai sekarang. Mereka diskusi tiap hari. Dari rencana penelitian sampai urusan tiket ke Maros.”
Tapi tidak semua yang tersisa berbentuk data atau dokumen. Ada yang lebih halus: rasa percaya diri.
Orang Maros, yang selama ini melihat gua dan lukisan itu sebagai bagian biasa dari hidup mereka, kini mulai memandangnya dengan bangga. Anak-anak sekolah yang ikut tur edukasi di festival itu mulai menceritakan kepada teman-teman mereka bahwa lukisan gua di kampungnya “kalahkan” semua yang ada di dunia.
Pemerintah pusat katanya sedang menyusun rencana perlindungan tambahan. Jalur wisata edukasi akan dibangun. Tidak besar, tapi cukup untuk membuat orang dari luar nyaman datang — tanpa merusak situsnya.
Dan saya, yang ikut hadir di hari pembukaan itu, masih teringat satu momen di Gala Dinner penutup.
Malam itu, di Leang-leang yang diterangi lampu-lampu kecil, para ilmuwan duduk bersama tokoh adat.
Mereka makan, bercakap, tertawa. Saya pikir, inilah yang sesungguhnya tersisa dari Gau Maraja: peradaban lama dan peradaban baru, akhirnya duduk satu meja.
Sisanya? Kita tunggu tahun depan. (*)
Tidak ada komentar