Saya bertanya, apakah cara ini bisa lebih luas dipakai?
“Bisa. Tapi butuh kesadaran masyarakat. Tantangannya, tidak semua pihak siap berdamai.”
Di luar studio, Arateng hening.
Di dalam, tawa dan keseriusan bergantian seperti musik jazz—tidak selalu rapi, tapi punya irama yang bikin nyaman.
Waktu habis. Acara saya tutup. Lampu dipadamkan.
Namun. Kursi pak Ridwan dan Pak Muslimin masih hangat, menyimpan cerita yang tak sempat direkam.
Malam itu saya paham satu hal: hukum, seperti manusia, bisa keras. Tapi juga bisa hangat.
Dan di studio kecil empat kali enam meter itu, ia terasa paling manusiawi yang pernah saya dengar. (*)
Tidak ada komentar