Bunga Wallu siang itu bukan sekadar nama lingkungan di pinggiran Watang Pulu. Udara masih membawa aroma tanah yang baru digemburkan.
Penulis: Tipue Sultan
Di antara hamparan hijau dan barisan petani yang menunggu, Brigjen TNI Wawan Erawan melangkah mantap. Seragam lorengnya tampak kontras dengan warna pucat awan sore.
Ia datang bukan sekadar berkunjung, tapi membawa satu pesan yang tak ingin ia titipkan lewat kertas: kita sedang berada di tengah pusaran krisis pangan dunia.
“Banyak negara kini menutup pintu ekspor beras. Mereka memilih menyelamatkan dapur sendiri,” ujarnya, suaranya datar namun tegas.
Di sampingnya, Kolonel Kav Donovan Pri Pamungkas, sang Wakil Ketua Tim, mengangguk. Kedatangan mereka di Sidrap kali ini untuk monitoring dan evaluasi program Optimalisasi Lahan (Oplah) dan Corporate Social Responsibility (CSR) — sebuah program yang mungkin terdengar administratif, tapi sesungguhnya menyentuh jantung pertanian kita.
Di bawah tenda sederhana, hadir perwakilan Kodim 1420/Sidrap, Pemerintah Kabupaten Sidrap, Dinas Pertanian, perangkat desa, hingga kelompok tani setempat.
Mereka mendengarkan, sebagian sambil mencatat, sebagian lagi memandang sawah di kejauhan.
“Indonesia masih punya tanah subur. Masih punya hujan yang datang pada waktunya. Ini kenikmatan yang harus disyukuri,” kata Brigjen Wawan.
Lalu ia menambahkan satu hal yang menjadi inti perintah dari Presiden: swasembada pangan. Bukan lagi sekadar jargon, tapi kebutuhan nyata agar negeri ini tak tergantung pada kapal asing yang membawa beras.
Ia tak hanya berbicara soal ancaman. Ia juga bicara solusi. Warga diajak untuk segera menanam, memanfaatkan setiap jengkal lahan.
Bahkan, ia langsung menginstruksikan Kepala Desa Buae membentuk brigade pangan. Alasannya sederhana: ke depan, bantuan alat pertanian dari Kementerian Pertanian hanya akan disalurkan lewat jalur itu.
Sidrap sore itu menjadi saksi bagaimana isu global dibawa turun hingga ke tanah kampung. Dari krisis beras dunia, ke meja para petani lokal. Dari bahasa istana, ke bahasa sawah.
Dan Brigjen Wawan, dengan tatapan yang menembus hamparan padi muda, seolah ingin mengingatkan: di tengah dunia yang kelaparan, Sidrap tidak boleh menjadi penonton.(*)
Tidak ada komentar