Tapi Ahmad menekankan. Remisi bukan sekadar angka. Bukan sekadar administrasi. Ia adalah instrumen psikososial. Memberi motivasi agar warga binaan tetap berkelakuan baik. Menumbuhkan harapan. Mempersiapkan mereka kembali berperan di masyarakat. “Kalau mereka kembali dengan hati yang bersih, kita semua yang menang,” katanya.
Di sela acara, hadir pejabat dan tokoh masyarakat. Ketua DPRD Ikrar Erang Batu. Plh Sekda Zulakarnain Kara. Dandim Letkol Inf Augustiar Adinegoro.
Kapolres AKBP Hari Budianyanto. Kajari Padeli. Pimpinan pengadilan. Mereka hadir. Menegaskan kolaborasi. Tapi lebih dari itu, menegaskan kemanusiaan. Bahwa hukum dan empati bisa berjalan beriringan.
Di satu sudut, seorang narapidana menatap remisi yang diterimanya. Enam bulan lebih singkat. Atau 90 hari lebih cepat. Angka kecil. Tapi efeknya besar.
Dalam psikologi perilaku, disebut self-efficacy. Keyakinan bahwa seseorang mampu mengubah hidupnya. Hari itu, keyakinan itu ditanam. Hanya dengan salam dan kata tulus.
Hari itu, bukan hanya bendera berkibar. Lagu Indonesia Raya menggema. Angka remisi diumumkan. Tapi hari itu adalah tentang manusia bertemu manusia. Tentang kesempatan kedua yang sederhana tapi membekas. Tentang harapan yang menembus jeruji.
Di ujungnya, senyum muncul. Tipis. Tapi nyata. Di wajah narapidana. Seperti Dahlan Iskan menulis: hidup selalu memberi ruang bagi mereka yang mau memeluk kesempatan itu. (*)
Tidak ada komentar