Artinya, bahkan jika isu kepindahan itu benar terjadi, dampaknya bagi Nasdem mungkin tidak sedalam yang diperkirakan publik.
Proses kaderisasi dan basis konstituen yang terbangun sudah menciptakan path dependency yang sulit diguncang hanya oleh hengkangnya satu figur, betapapun dominannya figur tersebut.
Namun, yang menarik, rumor migrasi RMS tidak berdiri sendiri. Sejumlah keluarga politik dan tokoh lokal yang dekat dengan RMS juga disebut-sebut mulai merapat ke PSI.
Fenomena ini menyingkap pola dynastic politics yang semakin cair, sekaligus menegaskan bahwa partai politik di Indonesia kerap berfungsi sebagai kendaraan elektoral, bukan rumah ideologi permanen.
Jika benar, PSI akan menjadi laboratorium baru bagi elite circulation yang menggabungkan wajah lama politik lokal dengan citra muda yang dibawa Kaesang Pangarep.
Meski demikian, publik tetap harus berhati-hati membaca isu ini. Dalam politik, tidak jarang isu perpindahan partai justru digunakan sebagai bargaining chip atau kartu tawar dalam negosiasi internal.
Isu bisa sengaja dibiarkan mengapung untuk menguji respon konstituen, menekan elite pusat, atau bahkan sekadar menjaga relevansi politik seorang aktor di tengah stabilitas partai.
RMS sendiri masih menerima penugasan strategis dari DPP Nasdem, termasuk menjadi ketua panitia Rakernas di Makassar. Hal ini memperlihatkan bahwa, di sisi lain, relasi RMS dengan Nasdem belum sepenuhnya retak.
Dengan demikian, perdebatan soal kepindahan RMS ke PSI masih berada dalam wilayah spekulasi. Apakah isu ini akan bermuara pada deklarasi resmi, atau justru meredup sebagai bagian dari strategi komunikasi politik, semuanya masih terbuka.
Namun, yang jelas, spekulasi ini sudah cukup untuk menegaskan satu hal: posisi RMS dalam politik Sulsel tidak pernah bisa dipandang enteng.
Dalam bahasa teori elit Pareto, ia adalah circulating elite yang senantiasa memiliki kemampuan untuk menggeser peta kekuasaan—baik tetap di Nasdem maupun jika benar-benar memilih jalan baru bersama PSI. (has/ed)
Tidak ada komentar