Oleh: Ismail Suardi Wekke (Alumnus Pesantren IMMIM; Penulis Tiga Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi dengan Lokus Pesantren IMMIM)
Setengah abad bukanlah sekadar penanda usia. Ia adalah catatan sejarah yang merekam denyut gagasan, gerak langkah, dan dedikasi sebuah institusi dalam menyulam peradaban. Pesantren IMMIM (Ikatan Masjid Musholla Indonesia Muttahidah) di Makassar adalah bukti nyata bagaimana sebuah visi yang lahir dari kesadaran jamaah masjid dapat menjelma menjadi kekuatan sosial, pendidikan, dan kebangsaan.
Lima puluh tahun lalu, IMMIM bukanlah institusi megah. Ia lahir dari gagasan sederhana: menjadikan masjid sebagai pusat kehidupan, bukan hanya tempat ibadah. Dari titik tolak inilah IMMIM berani melangkah lebih jauh. Pendidikan Islam tidak hanya dipahami sebagai ritual keagamaan, melainkan juga jembatan menuju kemajuan peradaban.
Pesantren IMMIM dan Dialektika Ilmu
Salah satu kekuatan terbesar IMMIM adalah keberaniannya merumuskan dialektika ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Santri dididik bukan hanya sebagai ahli fikih atau penghafal kitab, tetapi juga sebagai pemikir yang menguasai sains, teknologi, dan bahasa asing.
Pola pendidikan semacam ini melahirkan figur yang unik: ulama yang intelek, sekaligus intelek yang ulama.
Di tengah derasnya arus globalisasi, langkah IMMIM ini bukan hanya visioner, tetapi juga antisipatif. Dunia yang serba terkoneksi membutuhkan generasi yang lentur, siap berdialog dengan peradaban global tanpa kehilangan akar nilai. IMMIM telah menanamkan modal itu sejak dini.
Lansekap Sosial dan Identitas Kebangsaan
Pesantren IMMIM tidak pernah memposisikan dirinya sebagai menara gading. Ia berdiri di jantung Makassar, berinteraksi dengan denyut urban, namun tetap menyalakan nilai-nilai kesederhanaan dan kemandirian.
Di ruang inilah santri ditempa, bukan sekadar untuk menjadi cerdas, tetapi juga untuk hidup berintegritas.
Lebih jauh, IMMIM telah menempatkan diri sebagai bagian dari proyek kebangsaan. Para alumninya tersebar di berbagai sektor: pendidikan, dakwah, birokrasi, bisnis, hingga ruang riset. Mereka membawa nilai moderasi dan cinta tanah air, menjadikan pesantren ini tidak hanya milik Makassar, tetapi juga milik Indonesia.
IMMIM di Persimpangan Zaman
Namun perjalanan ke depan tidaklah ringan. Radikalisme dan sekularisme menjadi dua ekstrem yang menguji keseimbangan pendidikan Islam. Pesantren IMMIM harus terus mempertegas peran sebagai benteng moderasi beragama, tempat di mana Islam dipahami secara inklusif, penuh toleransi, dan sejalan dengan cita-cita persatuan bangsa.
Di sisi lain, tantangan era digital menuntut adaptasi yang lebih cepat. IMMIM telah membuktikan kemampuannya sejak akhir abad 20 dengan memanfaatkan komputer dan teknologi informasi. Kini, langkah itu perlu dipertegas dengan transformasi digital yang lebih sistematis, sehingga santri bukan hanya pengguna teknologi, melainkan juga pencipta peradaban digital.
Momentum Emas: Menatap Masa Depan
Lima puluh tahun adalah tonggak syukur, tetapi juga momentum refleksi. Apakah IMMIM hanya akan menjadi monumen sejarah, ataukah ia tetap menjadi pusat denyut peradaban?
Jawabannya bergantung pada keberanian untuk terus berinovasi tanpa kehilangan akar tradisi.
Pesantren IMMIM adalah wajah Islam yang ramah, cerdas, dan terbuka. Dari Makassar, ia telah menunjukkan bahwa masjid bukan hanya simbol spiritual, tetapi juga pusat transformasi sosial.
Dan dari IMMIM pula, kita belajar bahwa menjaga persatuan bukan sekadar semboyan, melainkan strategi peradaban.
Tidak ada komentar