Seorang lelaki dari Dusun Dea, Baranti, akhirnya memilih jalan pulang. Pulang ke dirinya sendiri.
Oleh Edy Basri
Inisialnya HM, 39 tahun. Ia bukan pelarian, bukan pula buronan. Ia datang sendiri, menyerahkan diri untuk direhabilitasi di Balai BNN Baddoka, Makassar.
Yang menjemputnya bukan pasukan bersenjata, bukan mobil tahanan. Tapi dua polisi yang sehari-hari justru lebih sering menyapa warga daripada menakutinya: Aiptu Hendra dan Bripda Akbar Idham. Mereka dari Kampung Bebas Narkoba (KBN) “Mappadeceng”.
Mappadeceng—dalam bahasa Bugis artinya baik. Nama itu ternyata tidak cuma hiasan spanduk. Kamis itu ia menjelma jadi perahu penyelamat. Membawa seorang pecandu dari tepian gelap ke dermaga terang.
Sidrap, bersama Parepare dan Pinrang, sudah lama dicap segitiga emas narkoba. Zona merah. Wilayah yang di peta nasional sering disorot aparat.
Tapi siapa sangka, justru dari salah satu dusunnya muncul cerita berbeda: seorang pecandu yang memilih jalan sadar.
HM beruntung. Keluarganya tidak menutup malu. Tidak sembunyi di balik dinding stigma. Mereka melapor. Mereka mengantar.
Mereka seakan berkata: lebih baik kehilangan gengsi, daripada kehilangan anak, kehilangan suami, kehilangan nyawa.
Tim medis di Baddoka memeriksanya. Hasilnya: ia layak direhab. Maka dimulailah babak baru. Perjalanan yang pasti tidak mudah, tapi jauh lebih menjanjikan ketimbang melanjutkan hari-hari bersama candu.
Kapolres Sidrap, lewat Kasat Narkoba Iptu Didik Sutikno, menyebut langkah keluarga HM ini sebagai keberanian.
Saya lebih suka menyebutnya: kejujuran. Karena narkoba bukan hanya merusak tubuh, tapi juga kerap memenjarakan orang dalam kebohongan.
KBN Mappadeceng pun membuktikan: perang melawan narkoba tidak selalu harus pakai borgol. Kadang, cukup dengan keberanian keluarga untuk mengulurkan tangan.
Dan itu jauh lebih sulit. Karena musuh terbesar seorang pecandu seringkali bukan narkobanya. Tapi diamnya keluarga. (*)
Pos Terkait
Trending Post
Tidak ada komentar