Oleh: Abrar Mattalioe
(Bupati LIRA Wajo)
Fenomena “pura-pura tender” dalam dunia pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu bentuk distorsi pasar yang berbahaya bagi prinsip persaingan sehat.
Dalam literatur hukum ekonomi, praktik ini sering dikaitkan dengan collusive tendering atau persekongkolan horizontal di antara peserta lelang yang secara sengaja menciptakan penawaran semu.
Alhasil, kompetisi yang mestinya mendorong efisiensi justru diduga direduksi menjadi sandiwara administratif, demi menguntungkan pihak tertentu.
Secara normatif, hal ini jelas melanggar asas fair competition sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli.
Lebih jauh, praktik tender semu juga bisa menyeret pada risiko tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di ranah administrasi, peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2021 menegaskan pentingnya akuntabilitas dalam setiap tahapan pengadaan.
Ciri-ciri tender yang bersifat “pura-pura” dapat diidentifikasi dari beberapa indikator. Pertama, lack of transparency — dokumen lelang disusun secara terburu-buru atau bahkan tidak lengkap, sehingga membuka ruang manipulasi.
Kedua, adanya predetermined winner atau pemenang yang sejak awal sudah ditentukan tanpa proses seleksi yang objektif. Ketiga, regulatory breach yakni pelanggaran langsung terhadap ketentuan hukum yang berlaku.
Semua itu menunjukkan adanya moral hazard dari pihak-pihak yang mestinya menjadi penjaga integritas.
Dampaknya sangat serius. Pertama, kerugian negara. Proyek yang dikerjakan bukan dengan kualitas terbaik maupun harga yang efisien akan menimbulkan economic inefficiency dan membebani keuangan publik.
Kedua, sanksi hukum. Bagi pelaku, konsekuensi dapat berupa sanksi pidana maupun administratif. Ketiga, kerusakan reputasi.
Dalam perspektif institutional trust, setiap penyalahgunaan proses tender merusak kepercayaan publik pada lembaga negara maupun swasta yang terlibat.
Oleh karena itu, penting menghadirkan preventive mechanism melalui sistem e-procurement. Sistem ini bukan sekadar inovasi digital, melainkan instrumen good governance yang menutup ruang negosiasi gelap.
Dengan traceability dan audit trail yang kuat, setiap tahapan pengadaan dapat dipantau secara transparan. Implementasi menyeluruh atas sistem ini akan meminimalkan asimetri informasi, mengurangi peluang kolusi, sekaligus memperkuat akuntabilitas birokrasi.
Pada akhirnya, pengadaan barang dan jasa adalah instrumen pembangunan yang seharusnya dikelola dengan prinsip keadilan, efisiensi, dan integritas.
Jika prosesnya hanya dijalankan secara “pura-pura”, maka sesungguhnya negara sedang menanggung risiko kehilangan legitimasi.
Tantangan kita adalah memastikan setiap tender tidak menjadi panggung sandiwara, melainkan ruang kompetisi sehat yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat. (*)
Tidak ada komentar