Jumat, 05 Sep 2025
Tonton KAT TV

Demonstrasi yang Dibajak: Antara Aspirasi Publik dan Manuver Elite

Katasulsel.com
3 Sep 2025 09:00
Opini 0 112
4 menit membaca

Oleh: Nahrul Hayat
Dosen Komunikasi Politik IAIN Parepare

Di penghujung Agustus 2025, jalanan Indonesia kembali menjadi panggung drama politik penuh paradoks. Dari Makassar hingga Jakarta, mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil turun ke jalan membawa spanduk dan suara lantang. Namun, di balik lautan protes itu, terselip episode gelap: pembakaran kantor pemerintah, penjarahan rumah pejabat, hingga kendaraan yang dilalap api. Apa yang semula diniatkan sebagai demonstrasi moral, justru berbalik wajah menjadi potret anarki yang menakutkan. Pertanyaannya, benarkah ini suara rakyat, ataukah suara rakyat yang sedang dibajak oleh kepentingan lain?

Politik sebagai Panggung Drama

Teori komunikasi dan sosiologi memberi kaca pembesar untuk membaca kompleksitas ini. Kenneth Burke (1969) dengan dramatismenya mengajarkan bahwa politik adalah panggung, dan para aktor membawa “drama” dengan simbol serta narasi pilihan mereka. Demonstrasi sejatinya ekspresi rakyat atas kegelisahan sosial: harga-harga yang mencekik, pendidikan yang kian mahal, pajak yang meroket, hingga daya beli yang melemah.

Namun, ketika api membakar dan tangan-tangan gelap menyusup, panggung aksi berubah. Aspirasi rakyat tergeser menjadi komedi kekuasaan. Rakyat berbicara tentang penderitaan, tetapi elite membelokkannya menjadi alat tawar-menawar politik.

Narasi yang Dibajak

Walter Fisher (1984) melalui narrative paradigm menjelaskan bahwa demonstrasi adalah kisah rakyat kepada negara. Narasi ini bukan sekadar fakta, melainkan cerita sarat nilai dan makna: tentang ketidakadilan, ketimpangan, hingga pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan. Tetapi, sebagaimana sebuah cerita, ia bisa disusupi plot baru. Tangan oligarki dan non-state actor menambahkan adegan kekerasan, membuat publik yang semula simpati berubah curiga.

Inilah narrative coherence dan narrative fidelity: ketika narasi kehilangan koherensi dan kesetiaan pada kebenaran moral, ia pun kehilangan daya persuasinya.

Media dan Agenda Setting

Teori agenda setting McCombs dan Shaw (1972) juga relevan. Media, terutama televisi nasional dan portal daring besar, lebih menyorot insiden pembakaran daripada substansi tuntutan. Akibatnya, opini publik diarahkan untuk melihat demonstrasi sebagai ancaman ketertiban, bukan jeritan keadilan. Padahal, sebagaimana diingatkan Habermas (1984), ruang publik mestinya tempat argumen diuji, bukan sekadar tontonan yang menghakimi.

Oligarki dan Industri Budaya

Perspektif kritis Adorno dan Horkheimer (1944) tentang industri budaya memberi peringatan: teks, simbol, musik, bahkan slogan bisa direkayasa untuk kepentingan kapital dan politik. Saat demonstrasi viral di TikTok dan Instagram, ia bukan lagi semata gerakan moral, melainkan komoditas tontonan. Dari sinilah elite dan oligarki masuk, mengubah gerakan sipil menjadi kapital simbolik yang diperdagangkan di meja politik.

Teori framing Entman (1993) semakin memperjelas. Media membingkai peristiwa dengan cara tertentu: “anarki” lebih laku dijual ketimbang “aspirasi murni”. Publik pun digiring percaya bahwa demonstrasi hanyalah huru-hara, sementara elite yang menunggangi situasi lolos dari sorotan. Framing bekerja layaknya cermin bengkok: wajah rakyat tampak menyeramkan, padahal kegelisahan hidup makin mencekam.

Siklus Lama yang Terulang

Fenomena ini mengingatkan pada siklus lama politik Indonesia. Sejarah mencatat, gerakan rakyat kerap dibelokkan: dari Reformasi 1998 hingga aksi-aksi jalanan berikutnya. Oligarki, aktor non-negara, bahkan lingkaran kekuasaan selalu mencari celah menunggangi momentum. Demonstrasi adalah kuda liar: rakyat menungganginya dengan idealisme, namun begitu berlari kencang, tali kendali direbut penunggang yang lebih lihai dan culas.

Namun, tidak adil jika semua demonstrasi disapu rata sebagai rekayasa. Di banyak kota, aksi berlangsung damai, penuh kreativitas, bahkan diselipi humor satir khas Gen-Z. Suara damai itu mungkin lirih, tetapi tetap mewakili nurani. Teori spiral of silence Noelle-Neumann (1974) membantu kita memahami keberanian sebagian kelompok untuk tetap bersuara meski opini publik dikepung stigma. Mereka menolak bungkam di tengah arus represi opini.

Suara Rakyat atau Suara Elite?

Publik hari ini bingung, terombang-ambing antara empati pada penderitaan rakyat dan kecemasan atas aksi destruktif. Kebingungan ini menjadi ruang abu-abu yang dimanfaatkan oligarki dan elite politik untuk memperkuat narasi mereka. Mereka berkata: “Lihatlah, rakyat tidak siap berdemokrasi.” Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah pembegalan orientasi: suara rakyat diubah jalurnya, distigma, lalu dijadikan tumbal dalam tawar-menawar kekuasaan.

Penutup: Jangan Salah Menghakimi

Di sinilah peran akademisi, media independen, dan masyarakat sipil sangat penting. Tugas kita bukan sekadar mengutuk api yang membakar, tetapi mencari siapa yang membawa bensin. Demokrasi membutuhkan kritik yang jernih, bukan sensasi. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam drama besar yang dimainkan elite, sementara suara rakyat terkubur oleh kendali opini.

Demonstrasi memang selalu menghadirkan ambivalensi. Ia bisa menjadi nyanyian kebebasan, atau berubah menjadi orkestrasi kekacauan. Namun, bila kita jeli membaca simbol, narasi, dan framing, kita akan tahu ada upaya sistematis membelokkan wacana. Rakyat turun dengan aspirasi, tetapi kepentingan lain menyalakan api. Rakyat menulis kisah perlawanan, tetapi naskahnya direvisi oleh sutradara bayangan.

Maka, jangan buru-buru menghakimi rakyat. Yang patut dicurigai adalah mereka yang bersembunyi di balik asap. Sebab demonstrasi yang dibajak bukan sekadar peristiwa sosial, melainkan cermin getir politik kita. Rakyat berteriak, elite bersiasat, dan demokrasi kembali dipertaruhkan di jalanan.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Portal Berita Berbadan Hukum

PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,

Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)

Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986

Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )