Oleh: Edy Basri
Di sana, para bupati dan wali kota se-Sulawesi Selatan duduk sejajar. Dari Pangkep sampai Luwu Timur. Dari Makassar sampai Toraja. Di layar besar, data realisasi anggaran tahun 2025 ditampilkan telanjang. Tidak ada yang bisa disembunyikan.
Angka-angka itu dingin. Tapi justru angka dingin itulah yang membuat suasana hangat. Karena begitu nama Kabupaten Sidrap muncul di urutan kedua, semua mata menoleh. Sidrap: 56,93 persen.
Bukan Makassar. Bukan Toraja. Bukan juga Gowa. Sidrap. Kabupaten lumbung padi itu.
Menteri Dalam Negeri yang hadir di kursi terdepan, mengangguk. Gubernur Sulsel tersenyum lebar. Wakil gubernur, forkompinda, semua memberi atensi. Sidrap dipuji, bersama Pangkep yang memimpin daftar dengan 57,49 persen.
Saya membayangkan apa yang dirasakan H. Syaharuddin Alrif, Bupati Sidrap, saat angka itu muncul. Tidak ada teriakan. Tidak ada yel-yel. Tidak ada yang mengibarkan bendera. Tapi semua tahu: itulah panggung pembuktian.
Syahar hanya bicara singkat. “Kami serius menjalankan amanah rakyat,” katanya. Pendek, tapi keras bunyinya. Karena dalam rapat seperti itu, kalimat panjang tidak dibutuhkan. Angka sudah bicara lebih lantang.
Di sisi lain layar, terlihat beberapa daerah dengan realisasi belanja yang masih jauh di bawah rata-rata nasional: 46,42 persen. Bahkan ada yang hanya 36 persen. Mereka hanya bisa menunduk.
Tapi Sidrap lain. Dari kursi ke kursi, orang membicarakannya. Bagaimana bisa sebuah kabupaten yang bukan pusat pemerintahan, bukan pusat ekonomi, justru tampil di papan atas?
Jawabannya mungkin sederhana: disiplin. Atau detail. Atau kombinasi keduanya. Tapi apapun itu, hasilnya nyata. APBD tidak berhenti di meja birokrasi. Ia mengalir ke sawah, ke jalan, ke sekolah, ke pasar.
Rapat koordinasi hari itu akhirnya ditutup. Semua kepala daerah kembali ke wilayahnya masing-masing. Tapi ada sesuatu yang tertinggal di Aula Asta Cita. Sebuah catatan: Sidrap kini bukan sekadar nama di tengah daftar panjang kabupaten. Ia sudah jadi contoh. (*)
Tidak ada komentar