Di halaman kampus, toga hitam dan matahari Sidrap membuat suasana berbeda.
Wisuda bukan sekadar prosesi. Polisi bicara hukum. Kampus membangun intelektual. Mahasiswa belajar harmoni.
Kadang tersenyum, kadang berpikir serius. Semua merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Dunia kadang aneh. Intelektual bisa muncul dari mana saja. Bahkan dari seorang perwira polisi yang menapaki S1 sampai Doktor Hukum.
Yang kini menjaga keamanan Sidrap, tapi tetap bicara tentang akal sehat, harmoni, dan masa depan generasi baru.
Fantry bergerak dengan tenang. Tapi meninggalkan bekas. Tidak hanya di podium. Tapi di pikiran mahasiswa.
Di hati orang yang melihat. Bahkan di catatan saya ini. Ia bukan sekadar polisi. Ia perwira. Ia intelektual. Ia guru yang tak memakai papan tulis.
Rian dan wisudawan lainnya menatap kosong. Diam-diam mereka kagum. Baru pertama kali ia melihat polisi berbicara dengan hati.
Polisi yang bukan hanya menjaga keamanan. Polisi yang membangun kesadaran hukum. Polisi yang mengajarkan harmoni.
Saya melihat Fantry berjalan meninggalkan halaman. Lalu menoleh sebentar. Seperti memastikan semua aman. Seperti memberi pesan terakhir: belajar, berpikir, berbuat baik.
Di sudut lain, beberapa mahasiswa bercanda ringan. Sambil melirik ke podium yang sudah kosong.
Ada yang tertawa kecil. Ada yang menghela napas panjang. Semua seolah setuju, sesuatu yang istimewa baru saja terjadi.
Sidrap, di bawah matahari Minggu itu, terasa sedikit lebih luas. Sedikit lebih manusiawi. Sedikit lebih bijak.
Semua karena satu sosok. Satu polisi. Doktor Hukum. Kapolres yang berdiri di podium kampus. Mengajar harmoni. Lalu pergi untuk masyarakat.
Bersambung…
Tidak ada komentar