Kadang toga hanya simbol. Yang sejatinya lulus, justru orang tuanya, juga mereka-mereka yang menyayanginya
Oleh: Edy Basri
Ada tawa. Ada tangis. Ada haru. Ada bangga. Semua bercampur jadi satu.
Minggu, 14 September 2025. Di kampus kecil yang bernama Institut Teknologi Pendidikan dan Bisnis (ITPB) Qana’ah Sidrap.
Sebanyak 83 wisudawan resmi dikukuhkan. Semua dari satu program studi: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Bagi mereka, ini hari besar. Tapi bagi orang tuanya, ini hari yang bahkan lebih besar.
Sebab, tidak semua orang tua di Sidrap bisa melihat anaknya sampai ke toga.
Di kampus sederhana itu, mereka duduk berdesakan di kursi plastik. Di bawah tenda yang dirancang khusus, supaya terasa seperti auditorium.
Sebagian orang tua datang jauh-jauh dari kampung. Membawa bekal nasi. Membawa doa. Dan pulang membawa kebanggaan.
Ada ibu yang memeluk erat map berisi ijazah sarjana strata satu. Lebih erat dari memeluk anaknya sendiri.
Ada bapak yang tersenyum kaku saat diajak berfoto. Dengan jas pinjaman.
Ada keluarga yang sibuk mencari angle terbaik. Supaya latar belakangnya panggung besar. Supaya anaknya terlihat gagah.
Hari itu, orang tua bukan hanya jadi penonton.
Mereka juga jadi bintang.
Bisa berfoto bersama keluarga. Bisa selfie dengan bupati. Bisa salaman dengan ketua DPRD atau kapolres. Bisa tersenyum di samping para rektor dan dosen.
Mereka merasa diakui. Mereka merasa setara.
Sesaat, mereka lupa jerih payah bertahun-tahun. Lupa hutang yang dicicil demi biaya kuliah. Lupa air mata yang pernah jatuh diam-diam di ladang, di pasar, di dapur.
Yang ada hanya tawa. Dan kamera yang tak berhenti berbunyi.
Rektor Muhammad Sabri berdiri di podium. Suaranya bergetar.
“Ini bukan akhir,” katanya. “Ini awal.”
Tentu, dalam perspektif akademik, benar. Wisuda hanyalah yudisium formal. Titik awal menuju postgraduate study, atau ke dunia kerja yang disebut “kampus kehidupan.”
Tapi bagi banyak orang tua, justru inilah puncak.
Bersambung…
Pos Terkait
Trending Post
Tidak ada komentar