Bupati Sidrap Bawa Cerita Desa ke JakartaBupati Sidrap, Syaharuddin Alrif, tak datang hanya untuk rapat. Ia membawa Sidrap: sawah, desa, tradisi, dan mimpi besar yang ingin bersinar di pariwisata nasional.
Laporan: Wahyu Widodo / Jakarta
Udara di kantor Kementerian Pariwisata di Jakarta, terasa biasa saja.
Tapi, bagi rombongan Bupati Sidenreng Rappang (Sidrap), Syaharuddin Alrif, hari itu, Kamis, 18 September 2025, terasa berbeda.
Mereka datang bukan sekadar untuk rapat resmi, tapi membawa cerita Sidrap, tanah yang hijau, sawah yang menguning, dan desa-desa yang bernapas tradisi.
Di meja panjang berlapis kayu, Syaharuddin duduk tenang, senyumnya hangat tapi penuh tekad.
Di sisi kiri dan kanannya, Sekda Andi Rahmat Saleh, Kepala Baperrida Herwin, Kepala Dispora Patriadi, dan Kabag Irham Imran menatap dengan cermat, sesekali mencatat hal-hal penting.
Mereka bertemu Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Enik Ermawati, yang tampak tersenyum menyambut.
Pertemuan dimulai dengan basa-basi ringan, tapi cepat beralih ke inti: Sidrap dan pariwisata.
Syaharuddin mulai bercerita. Tentang Tradisi Mappadendang, yang hanya ada di Sidrap.
Tentang desa-desa yang hidup dengan kreativitas, bukan hanya padi dan jagung.
Tentang potensi wisata geotermal, yang bisa menarik wisatawan domestik bahkan mancanegara. Cerita itu mengalir seperti air sungai, sederhana tapi menyejukkan.
“Sidrap itu bukan hanya agraris,” katanya. “Budaya, tradisi, dan kreativitas desa-desa kami bisa menjadi paket lengkap bagi wisatawan.”
Yang menarik, Bupati ini tidak berbicara dengan bahasa protokol.
Ia berbicara dengan mata dan hati, dengan cerita yang mudah dicerna, tapi menempel di ingatan.
Tidak ada angka-angka yang bikin pusing, tidak ada jargon yang membingungkan. Hanya cerita, visi, dan keyakinan bahwa Sidrap bisa bersinar.
Audiensi ini lebih dari sekadar kunjungan kerja. Ini adalah strategi diplomasi daerah.
Syaharuddin ingin Sidrap dikenal, bukan hanya sebagai kabupaten agraris, tapi sebagai daerah yang siap bersaing di peta pariwisata nasional.
Geotermal, sawah, tradisi, ekonomi kreatif—semua dikemas menjadi satu narasi yang sederhana tapi memikat.
Ketika pertemuan usai, senyum Syaharuddin tidak luntur. Ia tahu, Sidrap punya mimpi besar. Dan hari itu, mimpi itu baru saja dibawa ke Jakarta, untuk didengar, dihargai, dan suatu hari, diwujudkan. (*)
Pos Terkait
Trending Post
Tidak ada komentar