Oleh: Edy Basri
Itulah Hj. Maemunah. Perempuan sederhana, yang sehari-harinya dikenal penuh kelembutan. Ia bukan pejabat, bukan tokoh publik. Tapi ia adalah ibu. Dan pada Kamis sore, 25 September 2025, ia pamit untuk selamanya.
Hari berikutnya, Jumat siang, liang lahat di Pesantren Muammar Gaddafi, Rappang, menerima tubuh renta yang pulang ke tanah. Seperti bumi menerima kembali apa yang dulu ia titipkan.
Bupati Sidrap Syaharuddin Alrif berdiri di sana. Suaranya menurun setengah nada, lirih ketika berkata: “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah berpulang seorang ibu hebat yang telah melahirkan putri hebat di Sulawesi Selatan.”
Yang dimaksud tentu Wakil Gubernur Hj. Fatmawati Rusdi. Tapi di balik itu, semua orang tahu: kehebatan Fatmawati tak lahir tiba-tiba. Ada seorang ibu di belakangnya. Ada doa yang dipanjatkan diam-diam setiap malam. Ada tangan yang membimbing sejak kecil dengan kesabaran yang panjang.
Orang-orang yang hadir di pemakaman tahu betul siapa Hj. Maemunah. Mereka tahu beliau bukan hanya seorang ibu bagi anak-anaknya, tapi juga “ibu” bagi lingkungannya. Ramah, terbuka, tak pernah menolak ketika orang datang meminta nasihat. Ia tak mencari panggung, tapi selalu hadir ketika dibutuhkan.
Tak heran, dari Sidrap sampai Makassar, dari rakyat kecil sampai pejabat tinggi, banyak yang merasa kehilangan.
Wakil Bupati Sidrap Nurkanaah bahkan berucap singkat, tapi dalam: “Semoga keluarga diberi ketabahan. Almarhumah adalah sosok yang penuh kasih.”
Yang datang hari itu bukan hanya keluarga dan kerabat. Ketua DPRD Sulsel Andi Rachmatika Dewi hadir. Begitu juga Sekprov Sulsel Jufri Rahman, para bupati dari daerah tetangga, hingga pejabat daerah.
Tapi yang lebih menyentuh justru kehadiran warga biasa yang rela berdiri berdesakan. Mereka datang bukan karena undangan resmi. Mereka datang karena merasa berhutang budi kepada sosok yang kini terbujur kaku.
Bersambung……….
Tidak ada komentar