Fondasi Kuat: Likuiditas Melimpah dan Risiko Terkendali
Dalam kacamata makroprudensial, industri perbankan Indonesia sedang berada pada posisi “likuid dan efisien.” Rasio alat likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) tercatat 27,25 persen, jauh di atas batas aman 10 persen.
Sementara aset likuid terhadap non-core deposit menembus 120 persen, dua kali lipat dari ketentuan minimal. Di saat bersamaan, rasio kredit bermasalah (gross NPL) berada di 2,28 persen, dan net NPL di 0,87 persen — level yang mencerminkan manajemen risiko yang efektif.
Pertumbuhan DPK sebesar 8,51 persen bahkan melampaui pertumbuhan kredit. Kombinasi ini menunjukkan sektor perbankan memiliki liquidity buffer yang memadai untuk menopang ekspansi pembiayaan ke sektor riil.
“Rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) menurun dari 86,03 menjadi 85,55 persen. Ini artinya perbankan kita punya bantalan likuiditas yang lebih tebal, sekaligus ruang untuk ekspansi kredit ke depan,” jelas Defri.
Menjaga Momentum: Sinergi Kebijakan dan Transformasi Digital
OJK menegaskan, arah kebijakan sektor keuangan ke depan akan tetap adaptif dan antisipatif. Strategi makroprudensial akan difokuskan pada stabilitas sistemik, intermediasi inklusif, dan dukungan terhadap sektor UMKM.
Selain itu, OJK juga menyoroti percepatan transformasi digital perbankan sebagai bagian dari Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia 2020–2025. Proses digital onboarding, penguatan tata kelola siber, dan pengawasan berbasis data menjadi tiga agenda besar yang terus digenjot.
“Ekonomi digital dan teknologi finansial (fintech) adalah bagian integral dari masa depan perbankan nasional. OJK mendorong agar industri siap dengan tata kelola, infrastruktur, dan mitigasi risikonya,” tegasnya.
Tidak ada komentar