Wajo, Katasulsel.com — Kasus dugaan pelanggaran terhadap anak di bawah umur di Kecamatan Penrang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, kini menimbulkan perdebatan publik.
Bukan hanya karena melibatkan anak di bawah umur, tetapi juga karena munculnya perbedaan sikap di antara keluarga korban, aparat desa, dan pejabat kecamatan.
Korban, berinisial SS, masih berstatus anak di bawah umur. Ia dilaporkan hilang oleh orang tuanya setelah dibawa pergi oleh pria berinisial R, warga Penrang, yang disebut-sebut melarikan SS usai mengetahui gadis itu telah lebih dulu dilamar oleh laki-laki lain.
Laporan resmi tercatat di Polres Wajo, sebagaimana dikonfirmasi keluarga korban kepada wartawan, Kamis (16/10/2025).
Pihak kepolisian membenarkan adanya penjemputan terhadap terlapor dari wilayah Polmas, Sulawesi Barat, sebelum kasus dilimpahkan ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Wajo.
“Polsek hanya membantu penjemputan berdasarkan surat pengaduan, sebab kewenangan penanganan anak di bawah umur berada di tingkat Polres,” jelas Kanit Reskrim Polsek Penrang.
Namun perkembangan perkara justru mengarah ke jalur damai.
Ayah korban, Mustaking, mengaku telah menandatangani surat perdamaian di kantor kecamatan.
“Saya sudah berdamai dan mencabut laporan, hanya biaya transportasi yang diganti Rp2,9 juta. Saya tandatangan di kantor kecamatan,” ujarnya.
Pernyataan itu langsung dimentahkan oleh ibu korban, Halimah, yang menyebut tak pernah menyetujui perdamaian tersebut.
“Saya tidak pernah sepakat berdamai. Kalau ada yang mencabut laporan tanpa izin saya, saya akan keberatan dan siap bawa ke Polda Sulsel,” tegasnya.
Nama Camat Penrang, Eka Safran, S.IP., M.Si., pun ikut disebut dalam pusaran mediasi itu. Ia dikabarkan sempat datang ke rumah keluarga korban untuk menenangkan suasana.
Namun, Eka membantah tudingan bahwa ia mendorong perdamaian.
“Tidak benar kalau saya memaksa. Saya hanya menjembatani komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman. Itu bagian dari tanggung jawab moral kami sebagai pemerintah,” ujarnya menegaskan.
Eka juga menegaskan tidak akan merekomendasikan pernikahan anak di bawah umur dengan alasan apapun.
“Saya berpegang pada PP No. 7 Tahun 2022 dan UU No. 16 Tahun 2019 tentang batas usia perkawinan. Negara melarang praktik pernikahan dini karena menyangkut perlindungan anak,” tandasnya.
Kasus ini kini menjadi sorotan karena menyentuh batas peran pejabat pemerintah dalam ranah mediasi perkara pidana.
Para pemerhati anak mengingatkan agar mediasi sosial tidak menggeser proses hukum yang sedang berjalan.
Bersambung………
Tidak ada komentar