Penulis: Edy Basri
Dari kejauhan, tiga puluh kincir itu tampak seperti penari besi yang menari pelan di langit Watang Pulu.
Tingginya sekitar delapan puluh meter, dengan baling-baling selebar sembilan puluh meter.
Ketika angin bertiup, suara whoosh… whoosh… terdengar lembut, seperti napas masa depan yang sedang dihirup oleh bumi Sidenreng Rappang.
Di sinilah berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, pembangkit listrik tenaga angin pertama dan terbesar di Indonesia — sebuah monumen modern yang menandai babak baru kemandirian energi negeri ini.
Sebelum tahun 2018, tak ada yang menyangka bahwa Desa Lainungan dan Desa Mattirotasi — dua desa kecil di Kecamatan Watang Pulu — akan menjadi pusat perhatian dunia energi.
Dulu, tanahnya kering, hanya sesekali dilewati petani dan penggembala. Angin berembus kencang, tetapi tak dianggap apa-apa.
Namun ketika PT UPC Renewables Indonesia dan PT Binatek Energi Terbarukan datang membawa teknologi, arah hidup berubah. Bukit tandus itu disulap menjadi kawasan energi bersih dengan investasi sekitar USD 150 juta.
Pembangunan rampung pada Januari 2018, dan sejak saat itu Sidrap resmi masuk peta global energi terbarukan.
Kini, 30 turbin angin berkapasitas 2,5 megawatt (MW) masing-masing, menghasilkan total daya 75 MW yang disalurkan ke jaringan listrik nasional PLN.
Itu cukup untuk menerangi sekitar 70 ribu rumah tangga di Sulawesi Selatan.
Suatu sore, saya bertemu Bupati Sidrap, H. Syaharuddin Alrif, di sela kunjungan lapangan ke lokasi PLTB. Angin bertiup kencang, tapi suaranya justru terdengar seperti tepuk tangan alam.
“Ini simbol kebanggaan daerah,” katanya, menatap deretan kincir yang berputar tanpa henti.
“Dari Sidrap, kami ingin menunjukkan bahwa Indonesia bisa berdiri di atas kekuatan energi sendiri. Kalau kita mau, kita bisa swasembada energi — dari hulu hingga ke hilir.”
Ia bercerita, sejak proyek ini berjalan, geliat ekonomi di sekitar lokasi meningkat. Jalanan desa diperbaiki, akses listrik stabil, dan banyak warga yang kini bekerja di sektor-sektor pendukung.
“Anak-anak muda di sini mulai bangga menyebut dirinya bagian dari energi Indonesia,” ujarnya tersenyum.
Bagi sebagian besar warga Sidrap, PLTB bukan lagi sekadar proyek negara. Ia telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Rahmawati, seorang guru di Mattirotasi, mengaku masih terharu setiap kali melihat turbin-turbin itu dari jendela sekolah.
“Dulu kalau malam, lampu sering padam. Sekarang, listrik lebih stabil. Anak-anak bisa belajar tanpa takut gelap. Kami bangga Sidrap ikut menyumbang energi untuk Indonesia,” katanya.
Hal senada diungkapkan Basri, pedagang di pasar Watang Pulu.
“PLTB ini bukan cuma listrik, tapi simbol kemajuan. Kami orang kecil saja bisa ikut merasa jadi bagian dari negeri besar. Terima kasih PLN sudah menjaga agar listrik di sini terus menyala,” ujarnya sambil tersenyum.
Tak hanya warga, pelajar dan mahasiswa sering datang berkunjung, belajar tentang energi baru terbarukan.
Kawasan PLTB kini menjadi semacam living laboratory bagi generasi muda yang ingin tahu bagaimana energi bersih bekerja di dunia nyata.
Bagi PLN, proyek ini bukan sekadar pencapaian teknis, tapi wujud nyata komitmen menuju kedaulatan energi nasional.
PLN kini terus memperluas pemanfaatan energi primer domestik — air, panas bumi, surya, hingga angin — demi mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil.
Konsepnya sederhana tapi kuat: “Swasembada energi dari hulu ke hilir.”
Dari sisi hulu, pemerintah dan PLN memastikan setiap potensi energi lokal dimaksimalkan. Sementara di hilir, masyarakat didorong untuk beralih ke gaya hidup elektrifikasi: kendaraan listrik, kompor induksi, dan efisiensi penggunaan energi.
Sidrap menjadi contoh nyata: energi bisa bersumber dari alam sekitar, dikelola lokal, tapi memberi manfaat nasional.
Bupati Syaharuddin Alrif melihat PLTB ini bukan hanya urusan listrik, tapi bagian dari narasi besar tentang harga diri bangsa.
“Negara yang berdaulat energi adalah negara yang kuat,” katanya tegas. “Kami di Sidrap ingin menjadi contoh bagaimana potensi daerah bisa menjadi tulang punggung energi nasional.”
Ia juga menyinggung rencana jangka panjang: mendorong Sidrap menjadi pusat pembelajaran energi bersih di kawasan timur Indonesia.
“Dari sini, anak-anak bisa belajar bahwa energi bukan hanya milik kota besar, tapi juga milik desa. Kami ingin mereka tumbuh dengan rasa percaya diri bahwa dari Sidrap pun, masa depan bisa dimulai.”
Kemandirian energi, sejatinya, bukan hanya tentang mampu memproduksi listrik sendiri. Tapi tentang cara berpikir: bahwa bangsa besar tidak boleh bergantung selamanya pada impor bahan bakar.
Angin Sidrap memberi pelajaran berharga. Ia datang tanpa harus dibeli. Ia berputar tanpa harus disuruh. Yang dibutuhkan hanyalah teknologi, niat, dan keberanian untuk mengelolanya.
Dari sanalah energi berdaulat itu lahir — bukan dari sumur minyak, tapi dari keyakinan bahwa bangsa ini mampu memanfaatkan apa yang dimilikinya sendiri.
Malam di Sidrap kini tak lagi gelap.
Dari rumah-rumah hingga jalan-jalan desa, cahaya lampu menyala lembut, bertenaga dari hembusan angin yang sama yang dulu diabaikan.
Anak-anak belajar, ibu-ibu menenun, dan pedagang menutup kiosnya dengan rasa tenang.
Semua karena angin — dan karena keberanian bangsa untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Di Sidrap, angin bukan hanya menggerakkan baling-baling.
Ia menggerakkan semangat kedaulatan energi untuk Indonesia yang kuat.
Feature ini ditulis dari Sidrap, Sulawesi Selatan pada Senin, 20 Oktober 2025 — tanah di mana angin tak lagi sekadar berhembus, tapi bekerja.
Tidak ada komentar