Rabu, 22 Okt 2025

Energi Berdaulat dari Kalempang: Terang yang Menyala di Ujung Sidrap

Katasulsel.com
21 Okt 2025 13:46
Feature Sidrap 0 100
3 menit membaca

Oleh: Edy Basri

Jalan menuju Desa Kalempang, Kecamatan Pitu Riawa, bukan sekadar perjalanan fisik. Ia seperti perjalanan waktu.

Dari Pangkajene, ibu kota Sidrap, saya menempuh jarak sekitar 70 kilometer ke arah timur, menembus jalan berbatu yang berliku di antara hamparan kebun kakao dan sawah tadah hujan.

Setiap tikungan membawa saya pada lanskap yang makin sunyi — dan di situlah, di perbatasan Sidrap dan Enrekang, saya menemukan makna lain dari kata terang.

Kalempang, desa kecil di kaki pegunungan itu, dulunya hanya punya satu sumber cahaya: lampu minyak tanah.

Malam di sana begitu pekat, sampai-sampai anak-anak hanya bisa belajar di bawah temaram pelita. Tapi kini, semuanya berubah. Listrik sudah menyala.

Saya ingat betul, ketika malam turun dan bunyi jangkrik mulai mendominasi, rumah-rumah di Kalempang perlahan terang-benderang.

Dari kejauhan, seperti bintang-bintang yang menetes ke bumi. Di beranda rumah panggung, saya bertemu Ibu Nanibegitu saya menyebutnya, seorang guru SD yang sudah 12 tahun mengajar di desa itu. Ia tersenyum sambil menunjukkan ruang belajar sederhana di rumahnya.

“Dulu anak-anak belajar sambil kipas asap lampu minyak. Sekarang mereka belajar sambil dengar lagu dari radio tenaga listrik. Rasanya seperti hidup di tempat yang baru,” katanya.

Listrik di Kalempang bukan hanya menerangi rumah — ia juga menghidupkan harapan. Di pojok desa, Ambo Upe, seorang petani kopi, kini memiliki mesin penggiling sendiri. Ia tak perlu lagi ke Enrekang hanya untuk menumbuk biji kopi.

“Dulu harus jalan dua jam bawa karung di punggung. Sekarang tinggal colok mesin, kopi siap dijual,” ujarnya sambil tertawa lebar, memperlihatkan giginya yang menguning karena sering minum kopi hasil kebunnya sendiri.

Inilah yang disebut pemerintah sebagai energi berkeadilan. Dan di Kalempang, istilah itu bukan jargon — tapi kenyataan yang bisa disentuh.

Dari energi primer domestik yang kini mengalir hingga wilayah terpencil, masyarakat kecil mulai merasakan perubahan besar dalam kehidupan mereka.

Saya menelusuri gang kecil menuju Pustu Kalempang, satu-satunya fasilitas kesehatan di desa itu.

Dulu, bidan desa, harus menyalakan lilin ketika membantu persalinan. Kini ruang bersalin kecil itu dingin oleh hembusan kipas angin listrik.

“Bayangkan, Pak, kalau malam ada pasien melahirkan, dulu kami kerja dengan lampu pelita. Sekarang kami punya lampu LED, kulkas vaksin, dan alat tensi digital. Semua karena listrik,” tutur wanita setengah baya itu, matanya berbinar.

Malam itu, di balai desa, saya ikut duduk bersama para pemuda yang menyalakan layar putih di tembok bambu — mereka menonton siaran sepak bola lewat proyektor kecil.

Di tengah sorak-sorai sederhana itu, saya melihat sesuatu yang lebih besar: rasa memiliki terhadap energi.

“Ini listrik kita, dari negeri kita,” kata Ismail Made, ketua karang taruna kecamatan setempat. “Kalau listrik padam, kami lapor cepat. Bukan karena marah, tapi karena kami sadar, ini bagian dari hidup kami sekarang.”

Di Kalempang, listrik bukan sekadar aliran daya — ia adalah aliran martabat. Ia membuat anak-anak bermimpi jadi dokter, petani bisa berproduksi lebih efisien, dan tenaga kesehatan bekerja lebih manusiawi.

Semua itu lahir dari sebuah gagasan besar: bahwa energi harus adil dan merata, bahkan hingga ke pelosok yang paling jauh.

Saya berdiri di tepi bukit Kalempang menjelang pagi. Kabut masih turun perlahan, menutupi lembah yang mulai diterangi cahaya lampu.

Di sana, saya menyadari sesuatu: energi berdaulat tidak selalu lahir dari kota besar, atau dari gedung-gedung kementerian. Kadang, ia lahir di sebuah desa kecil yang dulu gelap, yang kini menyalakan terang bukan hanya di rumah, tapi juga di hati warganya.

Kalempang mungkin jauh dari pusat kota. Tapi dari sinilah Indonesia belajar arti keadilan energi — bahwa terang seharusnya tidak berhenti di batas jalan aspal. Bahwa kedaulatan energi sejati adalah ketika setiap anak di pelosok bisa menyalakan mimpinya sendiri.

Dan malam itu, ketika saya pamit meninggalkan desa, cahaya di Kalempang masih menyala — seperti janji bahwa Indonesia memang sedang menuju masa depan yang lebih terang. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Portal Berita Berbadan Hukum

PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,

Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)

Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986

Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )