Pasukan pendukung Andi Syaqirah IJ datang menghampiri saya.
Masih dengan semangat yang sama.
“Ini belum selesai,” katanya pelan.
“Besok, kita kirim lebih banyak gift. Kita dukung sampai final.”
Saya tersenyum.
Ia tersenyum juga.
Malam itu, dua orang dari Sidrap saling memahami tanpa kata.
Sebelum keluar dari area studio, saya menoleh ke arah panggung yang sudah padam.
Lampu-lampu dimatikan satu per satu.
Tapi cahaya dari wajah orang-orang Sidrap itu belum padam.
Masih menyala.
Masih hangat.
Saya menulis kalimat terakhir di catatan saya malam itu:
“Tidak semua cahaya datang dari ibu kota.
Kadang, cahaya itu datang dari desa kecil yang tahu cara bermimpi.”
Dan malam itu, mimpi itu bernama Syakirah.
Dibawa oleh semangat IJ.
Disapa dengan bangga oleh Bupati Syaharuddin Alrif.
Disorot oleh seluruh Indonesia.
Sidrap tidak lagi sekadar lumbung padi.
Ia kini lumbung bakat.
Lumbung keberanian.
Lumbung semangat.
Dari Tanrutedong, cahaya itu naik ke panggung Jakarta.
Dan seluruh nusantara ikut menyaksikan —
bagaimana suara dari timur
bisa mengguncang jantung ibu kota.
Malam itu, bukan hanya Syakirah yang bernyanyi.
Tapi seluruh Sidrap yang bersuara.(*)
Tidak ada komentar