
Pernahkah publik melihat seluruh dokumen itu? Tentu tidak. Dan sangat wajar. Publik tidak dituntut memahami seluruh detail. Namun ketidakmampuan publik membaca proses inilah yang memunculkan risiko normatif. Dalam teori administrasi modern, risiko terbesar bukan pada pelanggaran yang disengaja, tetapi pada ruang kosong pengawasan.
Ketika proyek besar dikerjakan oleh beberapa kontraktor, ketika revisi teknis diperlukan karena kondisi lapangan berubah, ketika adendum kontrak dibuat untuk menyesuaikan kebutuhan teknis, dan ketika nilai proyek naik atau turun karena fluktuasi harga material, maka sistem memerlukan pengawasan superior. Jika pengawasan tertinggal satu langkah saja, celah muncul.
PLN tidak bekerja sendirian. Ada kementerian terkait, konsultan pengawas, auditor internal, auditor eksternal, dan lembaga pengawasan nasional. Namun volume data terlalu besar. Bagi proyek berukuran raksasa, pengawasan tidak pernah bisa benar-benar sempurna. Ini masalah sistemik, bukan masalah individu.
Kerjasama pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) adalah praktik umum di banyak negara. Tidak ada yang salah. Bahkan, model ini menjadi penopang pertumbuhan kapasitas listrik nasional. Namun dari perspektif tata kelola, kontrak jangka panjang bernilai miliaran dolar adalah ruang keputusan administratif yang perlu kehati-hatian ekstra.
Kontrak semacam ini biasanya berlangsung 20 hingga 30 tahun. Setiap butirnya memiliki implikasi finansial jangka panjang. Clause perubahan harga, penalty, pasokan bahan bakar, eskalasi biaya operasional, hingga jaminan pemerintah pada level tertentu, semua mempengaruhi keuangan negara dalam horizon waktu yang jauh melampaui masa jabatan pejabat yang menandatanganinya.
Bukan berarti ada penyimpangan. Namun dalam proses administrasi publik, ruang negosiasi yang berlangsung tertutup, panjang, dan teknis selalu memiliki potensi risiko. Risiko itu bukan terletak pada orang, melainkan pada ketiadaan transparansi absolut. Bahkan bila semua proses dilakukan benar, ketertutupan ruang diskusi membuat publik tidak pernah tahu pasti apa yang menjadi dasar penentuan keputusan.
Risiko semacam ini disebut risiko struktural: bukan risiko moral, bukan risiko legal, tetapi risiko transparensi.
PLN memiliki aset di ribuan titik di seluruh Indonesia. Dari lahan pembangkit, menara transmisi, kabel bawah tanah, kantor wilayah, depo logistik, hingga peralatan teknis. Pengelolaan aset sebesar ini membutuhkan database yang tidak hanya akurat, tetapi dinamis.
Masalahnya, pengelolaan aset dalam skala sangat besar sering kali menghadapi tantangan administratif: data yang belum terintegrasi, perubahan status aset yang lambat tercatat, dan aset yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dalam kondisi seperti ini, ketidaksesuaian administrasi mudah terjadi, bukan karena niat menyimpang, tetapi karena kapasitas sistem belum sepenuhnya memadai.
Dalam pengelolaan barang milik negara, aset yang “mengambang” dalam status administratif—baik karena belum mutakhir, belum terverifikasi ulang, atau belum tersinkronisasi—selalu menjadi poin kerentanan. Kerentanan ini bukan soal pelanggaran, tetapi tentang ketidakpastian. Dan dalam hukum administrasi negara, ketidakpastian adalah musuh utama.
Kontrak outsourcing sering diremehkan. Nilainya kecil per kontrak. Tetapi ratusan kontrak kecil yang tersebar di berbagai daerah menghasilkan beban administratif luar biasa besar. Dari pengamanan kantor hingga pemeliharaan jaringan, dari operator call center hingga teknisi lapangan, banyak fungsi operasional PLN yang melibatkan perusahaan outsourcing.
Tidak ada komentar