Viral Pukat Lasolo: Di Konawe Utara, Laut Masih Mengajarkan Cara Bersyukur
Oleh: Edy Basri
Terlihat, hanya beberapa warga memegang pukat, menariknya perlahan dari pesisir Laut Lasolo, Konawe Utara. Tidak ada musik latar.
Tidak ada editan dramatis. Yang ada hanya riuh kecil orang kampung yang tembus hingga ke telinga siapa saja yang menontonnya: riuh yang lahir dari kegembiraan paling jujur.
Video itu diunggah oleh Asmawati Ruksamin—anggota DPRD Konut—di Facebook. Sabtu pagi. Yang mungkin ia kira hanya dokumentasi biasa.
Tapi justru menjadi viral. Mungkin karena orang-orang kota sekarang rindu melihat sesuatu yang alami: ikan yang benar-benar ikan, laut yang benar-benar laut, dan senyum warga yang tidak dibuat-buat.
Di dunia digital, berita buruk jauh lebih cepat menyebar. Tapi video pukat Lasolo ini menyingkirkan algoritma itu untuk sesaat. Percakapan WhatsApp tiba-tiba dipenuhi pujian. Salah satu yang paling ramai mengomentari: Usman, pegiat media di Kendari. Ia menulis singkat, tapi cukup untuk merangkum semuanya:
“Masih banyak ikan segar di Konut. Enak sekali, segar-segar.”
Kalimat itu sederhana. Tapi di balik kesederhanaan itu ada sesuatu yang jauh lebih berarti: harapan bahwa masih ada daerah yang menjaga lautnya dengan benar.
Lalu muncul Apriyani dari Kecamatan Sawa. Bukan aktivis. Bukan politisi. Hanya seorang ibu tiga anak yang tahu persis bagaimana laut di kampungnya bekerja.
Ia memastikan lokasi video itu di Desa Laimeo. Tempat yang mungkin tidak banyak muncul di peta wisata, tapi hari itu muncul di jagat media sosial Indonesia.
Menurutnya, memukat seperti itu bukan hal baru. Sudah lama dilakukan. Dan hampir selalu berhasil membawa pulang ikan: cakalang, layang, rumah-rumah, katambang. Nama-nama ikan yang bagi warga kota sudah jarang terdengar kecuali di restoran mahal.
Tapi ada satu hal yang membuat pernyataan Apriyani terasa penting:
Masyarakat Laimeo menjaga lautnya sendiri. Tanpa papan peringatan. Tanpa aparat berjaga. Tanpa kampanye berdesain bagus.
Mereka menjaga dengan cara paling tua di dunia: dengan rasa malu.
Malu kalau ada yang merusak laut. Termasuk jika itu saudara mereka sendiri.
“Kalau ada yang mau membom ikan, tidak diperbolehkan. Meskipun dia warga sendiri,” kata Apriyani.
Pernyataan yang mungkin diucapkan sambil duduk di beranda rumah, tapi maknanya jauh melampaui batas kecamatan.
Mungkin itu sebabnya ikan masih melimpah di Lasolo.
Mungkin itu sebabnya video sederhana tadi bisa viral.
Karena orang-orang di kota tiba-tiba disadarkan: ada tempat yang tidak serakah. Ada masyarakat yang tidak ingin menang terlalu cepat. Ada pesisir yang masih memikirkan anak cucu.
Di negeri yang sering kehilangan banyak hal karena kelalaian, berita seperti ini terasa seperti sepotong oksigen. Menguatkan.
Video itu—yang hanya beberapa detik—berhasil menunjukkan bahwa pembangunan tidak selalu diukur dari bangunan. Kadang dari cara orang memandang lautnya sendiri.
Dari cara mereka mengatakan “tidak” pada tindakan merusak. Dari cara mereka tertawa saat pukat itu ditarik dan isinya melimpah.
Lasolo—setidaknya hari itu—berhasil mengingatkan Indonesia tentang satu hal:
Bahwa negeri ini akan tetap kaya selama masyarakat kecilnya masih menjaga apa yang ada di depan mata mereka. Tanpa menunggu aturan turun. Tanpa menunggu anggaran datang.
Di banyak tempat lain, laut mengeluh. Tapi di Lasolo, laut masih tersenyum. Dan warganya ikut tersenyum bersama.
Itu yang membuat video itu viral.
Dan itu pula yang membuat kita rindu pada hal-hal yang sederhana—yang justru paling penting. (*)
Tidak ada komentar