
Saya mengikuti mereka dari belakang, berjalan dalam satu barisan kecil. Yang saya lihat, warga di Wala tidak menyambut dengan euforia berlebihan. Mereka hanya terlihat tulus—seperti orang yang lama menahan berat, lalu melihat ada tangan yang datang menawarkan bantuan.
Seorang nenek, kira-kira berusia di atas 70 tahun, keluar sambil mengusap matanya. “Jangan jauh-jauh, Nak. Masuk saja. Tadi saya dengar suara ramai,” katanya kepada salah satu polisi.

Di saat-saat seperti itulah saya tahu bahwa kegiatan seperti ini bukan soal jumlah bantuan. Tapi soal telapak kaki yang datang, tangan yang mengetuk pintu, dan senyum yang membuat rumah-rumah kecil kembali hangat.
Rumah pertama yang dikunjungi adalah rumah seorang lelaki tua bernama Daeng Rappe. Ia tinggal bersama istrinya, keduanya sudah tidak bekerja.
Ambarita masuk perlahan. Ia menunduk rendah, menghampiri pasangan lansia itu, lalu menyerahkan paket bantuan.

“Bagaimana kabarnya, Daeng?” tanya Ambarita.
“Saya masih kuat, Nak. Tapi istri ini… sudah sering sakit,” jawabnya, pelan.
Tidak lama, saya melihat Ambarita duduk di sebuah kursi plastik biru. Ia mendengarkan cerita Daeng Rappe tanpa memotong. Mendengarkan tanpa melihat jam.
Para anggota lain juga sibuk—satu membantu membukakan plastik bantuan, satu lagi mengangkat galon kecil ke sudut dapur.
Di rumah kecil itu, pagi yang sunyi berubah menjadi percakapan hangat antara aparat dan warga.
Saya masih memikirkan satu hal: jarang ada institusi sebesar Polri yang memilih cara seperti ini—mendatangi orang-orang satu per satu.
Ketika rombongan bergeser ke rumah berikutnya, seorang ibu memeluk paket bantuan yang baru diberikan. Tangannya bergetar.
Ia mendongak sambil berkata kepada saya, “Saya tidak punya siapa-siapa lagi, Pak. Umur segini, sudah tidak bekerja. Kalau hari ini ada yang datang bantu, saya anggap berkah besar.”
Ia tidak menangis. Tapi sorot matanya lebih jujur daripada seribu air mata.
Yang menarik, selama perjalanan itu, saya melihat Ambarita tidak pernah membiarkan anak buahnya berjalan tanpa arahan. Tapi arahannya bukan berupa perintah kasar. Lebih seperti: mari kita lakukan ini bukan untuk pencitraan, mari lakukan setulus mungkin.
Saya mendekatinya dan bertanya pelan,
“Kenapa memilih kegiatan seperti ini di peringatan HUT Reserse, Komandan?”
Ia menjawab sambil melangkah, tidak menoleh, tetapi suara lembutnya terdengar jelas,
“Kami ingin menunjukkan rasa syukur. Kami juga ingin warga tahu bahwa polisi itu bukan hanya hadir ketika ada masalah. Kadang, kita perlu hadir ketika orang memerlukan bahu untuk bersandar.”
Saya mencatat kata-kata itu dalam hati. Kata-kata yang tidak bersayap, namun cukup menggambarkan filosofi seorang pimpinan yang tidak ingin menjauh dari masyarakatnya.
Sekitar satu jam kemudian, kegiatan semakin merata. Satu tim bergerak ke bagian barat, satu tim lagi ke sisi selatan. Saya ikut tim yang menuju daerah dengan rumah-rumah semi permanen.

Media Portal Berita Berbadan Hukum
PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,
Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)
Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986
Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )


Tidak ada komentar