Saya mencatat nada suaranya. Tegas. Tapi mengandung optimisme.
Seorang Kapolres yang memahami bahwa keamanan bukan hanya soal hukum—tetapi juga soal empati.
Saat matahari mulai meninggi, kegiatan selesai. Namun pesan-pesan kecil dari warga tetap memantul di kepala saya. Kata “terima kasih” yang diucapkan lirih. Senyum-senyum tulus yang muncul tanpa dibuat-buat.
Saya berjalan menuju kendaraan saya sendiri. Dari kejauhan, saya melihat rombongan polisi mulai kembali ke markas. Mereka tidak membawa pulang apa-apa—kecuali rasa lega.
Di punggung mereka, saya membaca sesuatu yang tidak tertulis:
“Pengabdian tidak selalu harus terlihat.”
Saya meninggalkan Wala dengan pikiran panjang. Kadang-kadang, kita terlalu sibuk membicarakan isu besar: hukum, politik, ekonomi, kebijakan. Tapi kita lupa bahwa di lorong-lorong kecil seperti Wala, ada orang-orang yang hanya butuh sedikit uluran tangan untuk membuat mereka merasa diperhatikan.
Dan hari itu, Polres Sidrap memilih turun, mengetuk pintu, menyalami warga, menyapa mereka dengan ramah.
Seorang teman pernah berkata kepada saya:
“Bantuan kecil itu seperti payung kecil di tengah hujan. Tidak menghentikan badai, tapi cukup membuat kita merasa tidak sendirian.”
Saya rasa, itulah yang terjadi di Wala hari itu.
HUT ke-78 Reserse Polri dirayakan dengan cara yang tidak megah. Tidak formal. Tidak penuh protokol.
Namun dirayakan dengan cara yang paling manusiawi:
Menolong mereka yang paling membutuhkan.
Kasat Reskrim AKP Welfrick Krisyana Ambarita memimpin dengan hati.
Kapolres AKBP Dr. Fantry Taherong memberi dukungan penuh.
Camat Maritengngae hadir memperkuat suasana.
Para warga menerima dengan penuh kehangatan.
Pos Terkait
Trending Post
Tidak ada komentar