Edy BasriPadahal, jurnalisme tidak pernah menjanjikan kenyamanan. Ia menuntut kerja. Ia menuntut waktu. Ia menuntut keberanian untuk keluar dari zona aman. Jurnalisme adalah profesi yang sejak awal lahir dari kegelisahan, bukan dari kemudahan.
Berbeda dengan advertorial. Advertorial justru lebih jujur. Ia mengaku sebagai iklan. Ia dibayar. Ia punya tujuan promosi. Selama diberi label yang jelas, advertorial tidak pernah bermasalah secara etika. Publik tahu apa yang sedang mereka baca.
Yang bermasalah adalah ketika rilis ingin diperlakukan seperti berita, tapi enggan disebut iklan. Ingin gratis, tapi tampil seperti karya jurnalistik. Ingin dipercaya publik, tapi tanpa proses jurnalistik. Ingin viral, tapi alergi kritik. Sebuah kombinasi yang, kalau dipikir-pikir, agak lucu, tapi juga menyedihkan.
Sebagai media, kami tidak anti rilis. Ini perlu ditegaskan. Rilis bisa menjadi bahan awal. Ia bisa menjadi petunjuk liputan. Ia bisa menjadi pemantik isu. Tidak ada larangan rilis masuk ke redaksi. Yang tidak boleh adalah menjadikan rilis sebagai titik akhir.
Begitu rilis masuk ke dapur redaksi, ia harus siap diperlakukan sebagai bahan mentah, bukan kitab suci. Ia boleh dipotong. Boleh diubah. Boleh dikritisi. Bahkan boleh dibuang jika tidak punya nilai berita. Dan semua itu bukan bentuk permusuhan, melainkan bagian dari kerja jurnalistik.
Idealnya, jurnalis justru harus kreatif mengolah rilis. Dari satu rilis, bisa lahir banyak pertanyaan. Apa konteksnya? Apa dampaknya bagi publik? Siapa yang tidak disebut dalam rilis ini? Apakah klaimnya sesuai dengan fakta lapangan? Apakah ada data pembanding?
Di titik inilah jurnalis diuji. Apakah mau bekerja lebih jauh, atau memilih berhenti di naskah yang sudah disediakan?
Kegelisahan soal ketergantungan pada rilis ini bukan hanya hidup di ruang redaksi. Hal yang sama juga saya sampaikan ketika diundang Kolaborasi Jurnalis Indonesia (KJI) Kabupaten Wajo, dalam kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik, Minggu, 21 Desember 2025, di Aula Inspektorat Wajo.
Di hadapan para jurnalis muda dan pegiat media lokal, saya tidak membawa teori yang rumit. Saya hanya membawa pengalaman, dan satu pesan sederhana: jangan membesarkan diri sebagai jurnalis jika hidup sepenuhnya dari rilis.
Saya sampaikan bahwa di era digital hari ini, tantangan jurnalis bukan lagi soal siapa yang paling cepat. Semua orang bisa cepat. Bahkan akun anonim di media sosial bisa lebih cepat dari media arus utama. Tantangan kita justru ada pada keberimbangan dan konteks.
Satu berita yang utuh, meski terlambat, akan selalu lebih berharga daripada sepuluh berita cepat yang hanya mengulang rilis. Kecepatan bisa dikejar siapa saja. Tapi integritas hanya dimiliki oleh mereka yang mau bersabar.
Saya katakan kepada peserta pelatihan, rilis tidak pernah berimbang. Ia selalu satu sisi. Maka keberimbangan hanya bisa lahir jika jurnalis mau bekerja lebih. Mau menelpon pihak lain. Mau turun ke lapangan. Mau mendengar suara yang tidak disediakan dalam rilis.
Di era digital yang serba instan ini, godaan untuk berhenti di zona nyaman sangat besar. Tapi justru di situlah jurnalis harus melawan arus. Media tidak boleh sekadar menjadi pengulang pesan. Media harus menjadi penafsir realitas.
Tidak ada komentar